Sosial icon

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/06/menambahkan-widget-icon-sprite-media.html#ixzz2Drh6nLxy

Sunday, September 16, 2012

MENGUMPULKAN DUA HADITS YANG BERBEDA




BAB I
PENDAHULUAN


            Alhamdulillahi rabbil’alamin puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalAh ulumul hadits sholawat serta salam tak lupa kami panjatkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah memahami kepada kita tentang syariat islam.
            Dalam makalah ini kami pemakalah akan sedikit membahas tentang masalah hadits-hadits yang saling bertentangan yang setelah diteliti, ternyata salah satunya bukan dari Nabi. Maka dengan mudah kita menyingkirkan hadis tersebut. Sekarang, ada hadis yang saling bertentangan keduanya berasal dari Nabi, hadis yang sama-sama sahih bukan hadis yang dhaif (lemah)
ataupun maudhu’ (palsu). Hadis yang dhaif.dan maudhu’ tidak dimasalahkan lebih
lanjut tentang kandungan petunjuknya sebab hadis yang bersangkutan menurut
pandangan ulama hadis tertolak sebagai hujah.




















BAB II
MENGUMPULKAN DUA HADITS YANG BERBEDA
 (AL-JAM’U WA AL -TAUFIQ)

A.     Definisi al-Jam’u
Jam’u menurut bahasa artinya mengumpulkan. Sedangkan menurut istilah yaitu
التَّوْقِفُ بَيْنَ الدَّلِيْلَيْنِ المُتَعَارِضَيْنِ عَلَى وَجْهٍ يَزِيْلُ تَعَاِرضَهُمَا
"Menyelaraskan atau menyesuaikan dua dalil yang saling bertentangan dengan suatu cara yang dapat menghindarkan pertentangan tersebut (sehingga tidak ada pertentangan antara keduanya dan atau dapat diamalkan secara bersama-sama)".

B. Macam-macam Jama'

  1. Mentakhshis 'Am-ny
Apabila terjadi pertentangan antara lafad 'am dan khash, maka ada dua kemungkinan. Pertama, mungkin salah satunya lebih khash (khusus) daripada lainnya secara mutlak. Kedua, mungkin ke-'am-annya dan ke-khash-annya hanya terletak pada satu sisi saja. Apabila kondisi pertama terjadi maka lafad khash lebih diunggulkan dan diamalkan daripada lafad 'am-nya. Karena lafad khash masih dapat merealisasikan apa yang terkandung dalam lafad 'am. Mengamalkan lafad khash berarti mengamalkan ketentuan kekhususannya dan mengamalkan lafad 'am berarti mengamalkan ketentuan lain di luar ketentuan yang terkandung dalam lafad khusus. Apabila kondisi kedua yang terjadi dan terdapat sesuatu yang dapat diunggulkan, maka itulah yang diamalkan. Namun apabila tidak terdapat sesuatu yang dapat diunggulkan, maka seorang mujtahid dapat memilih mana diantara keduanya yang diamalkan. Keduanya tidak dapat diamalkan secara bersamaan.
Contoh, hadis nabi:
Dari Anas ibn Malik, Rasulullah SAW bersabda "Barangsiapa yang lupa melaksanakan shalat, maka shalatlah di kala ingat". (HR. Bukhari Muslim).
Bersamaan dengan larangan Rasulullah SAW, shalat di waktu karahah (makruh) yaitu Dari Uqbah ibn Amr, ia berkata: Rasulullah SAW melarang kita melakukan shalat atau mengubur jenazah dalam tiga waktu: ketika matahari terbit hingga agak tinggi, ketika matahari mencapai titik kulminasi hingga tergelincir dan matahari terbenam". (HR. Muslim, Abu Dawud, Nasa'i dan urmudzi)
Dari segi shalatnya, hadis ini bersifat khusus, karena menunjuk pada sebagian shalat saja yaitu shalat qadla' Apabila ditinjau dari segi shalatnya, maka hadis kedua bersifat umum. Namun apabila ditinjau dari segi waktunya, maka hadis kedua bersifat khusus, karena menunjuk pada sebagian waktu saja, yaitu waktu makruh. Dari sinilah madzab Syafi'i mengunggulkan hadis pertama. Sehingga mereka memperbolehkan mengqada' shalat yang tertinggal pada waktu karahah.

2. Mentaqyid muthlaq-nya
Mayoritas ulama berpendapat bahwa lafad muthlaq dapat dipahami secara muqayyad. Artinya, lafad muthlaq yang terdapat pada salah satu hadis yang bertentangan harus dipahami secara muqayyad berdasarkan hadis satunya. Sebagaimana contoh hadis yang berarti:
Dari Nafi' dari Umar ra. Bahwasanya rasulullah SAW. Mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha' kurma atau gandum kepada setiap muslim yang merdeka, budak, laki-laki maupun perempuan. (HR. Muslim).
Bukhari juga meriwayatkan hadis lain tanpa menyebutkan lafad: "setiap muslim". Turmudzi berkata, Lebih dari satu rawi yang meriwayatkan hadis tersebut dengan tanpa menyebut lafad setiap muslim. Dalam kedua hadis tersebut terdapat obyek hukum yang sama yaitu zakat fitrah, dan ketentuan hukum yang sama yaitu wajibnya zakat fitrah. Mutlaq dan muqayyadnya terdapat pada sebab hukumnya, yaitu seseorang yang ditanggung wajib zakatnya (muzakki). Pada hadis pertama, wajib zakat dibatasi dengan sifat Islam (muslim), sedang hadis kedua, wajib zakat tidak dibatasi dengan sifat tersebut. Artinya, lafad mutlaq yang terdapat pada hadis kedua harus dipahami secara muqayyad berdasarkan hadis pertama. Sehingga zakat fitrah tidak diwajibkan kecuali pada orang muslim yang menjadi tanggungan wajib zakat. Selanjutnya ulama berperndapat bahwa zakat tidak diwajibkan kepada selain orang Islam. Begitu pula, budak (orang yang menjadi tanggungan) yang non Islam.

C. Penggabungan didahulukan sebelum pentarjihan
Kasus tentang petunjuk hadis yang tampak saling bertentangan itu telah terjadi juga pada zaman sahabat dan memang tidak menyeluruh untuk semua hadis, tetapi bersifat parsial yang dimuat secara berserak bersama dengan pendapat-pendapat ulama sesudah zaman sahabat Nabi dalam berbagai kitab, khususnya kritik ataupun syarah hadis. Sehingga ilmu ini ada yang menyebut dengan Ikhtilaf al-Hadis, atau musykil al-Hadis, atau talfiq al-Hadis. Keberadaan ilmu mukhtalif hadis jelas sangat membantu mengatasi kesulitan ini. Selanjutnya ilmu ini tidak hanya dibutuhkan oleh ulama hadis, tetapi juga ulama lain, seperti ulama fiqh. Orang yang pertama menyusun buku yang berbicara tentang problema ini adalah Imam Syafi’i (150-240 H) dengan kitabnya Ikhtilaf al-Hadis. Untuk menyelesaikan hadis-hadis yang kandungannya tampak bertentangan,
cara yang ditempuh oleh ulama tidak sama, ada yang menempuh satu cara dan ada
yang menempuh lebih dari satu cara dengan urutan yang berbeda. Istilah yang banyak dijumpai dalam hal ini antara lain:
  1. Al-Tarjih (meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki argument yang lebih kuat)
  2. al-Jam’u, al-taufiq atau al-talfiq, (kedua hadis yang dikompromikan, atau sama-sama diamalkan sesuai)
  3. Al-Nasikh wa al-Mansukh (petunjuk hadis yang satu sebagai penghapus sedang hadis yang satunya lagi sebagai yang dihapus).
  4. Al-Tauqif (menunggu samapai ada petunjuk atau dalil yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan).
Imam Syafi’i mengemukakan empat jalan keluar: pertama, mengandung makna universal (mujmal) dan lainnya terperinci (mufassar); kedua, mengandung makna umum dan lainnya khusus; ketiga, mengandung makna penghapus dan yang lainnya dihapus; dan keempat, keduanya mungkin dapat diamalkan. Sementara al-Qarafi (w. 684 H) menempuh metode al-tarjih, yaitu dengan cara mencari petunjuk yang mempunyai alasan yang kuat. Dengan metode ini dimungkinkan akan ditempuh cara nasikh wa al-mansukh dan al-jam’u. lain halnya dengan Ibn Salah dan Fasih al-Hawari (w. 837 H), yang menempuh tiga macam metode: al-Jam’u, al-Nasikh wa al-Mansukh, dan al-Tarjih. Sedangkan Ibn Hajar al-Asqalani menempuh empat cara: yaitu al-Jam’u, al-Nasikh wa al- Mansukh, al-Tarjih, al-Tawqif. Walaupun cara penyelesaian ulama berbeda-beda, namun tidaklah berarti bahwa hasil penyelesaiannya harus berbeda juga. Dinyatakan demikian karena ulama pada umumnya lebih mengutamakan cara a-Jam’u, sekiranya cara itu dapat diterapkan, juga penyelesaian yang diberi istilah yang berbeda, hasilnya banyak yang menunjukkan kesamaan.
Berikut ini dikemukakan sekedar contoh tentang hadis-hadis yang tampak bertentangan dan cara penyelesaian ulama:

1.  Hadis tentang ziarah kubur bagi wanita.
Hadis yang berkaitan dengan ziarah kubur bagi wanita, yaitu:
حَدّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنّ رَسُولَ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ
لَعَنَ زَوّارَاتِ الْقُبُورِ .
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. melaknati wanita-wanita yang
terlalu sering berziarah kubur”.
Hadis di atas bertentangan dengan hadis:
زُوْرُوا القُبُوْرَ فَإِنَّهَا تَذْكِرَ المَوْتَ.
Artinya:
“Berziarahlah kubur, sesungguhnya berziarah kubur itu mengingatkan tentang kematian”.
Kedua hadis di atas berkualitas sahih. Pada hadis pertama, dianggap bertentangan dengan hadis kedua. Hadis pertama berisi ketidak senangan Nabi yang bisa diartikan sebagai larangan kepada wanita-wanita yang terlalu sering berziarah kubur. Sedangkan hadis kedua berisi perintah secara umum baik untuk laki-laki dan perempuan untuk berziarah ke kubur, karena hal tersebut dapat mengingatkan manusia terhadap adanya kematian.

2. Larangan dan kebolehan buang hajat menghadap kiblat yang
artinya :
عن ابي ايوب النصاري قال: قال رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ : اِذَا اَتَى اَحَدُكُمْ الغَائِطَ فَلَا يَسْتَقْبِلْ القِبْلَةَ وَ لاَ يُوَلّىِ ظَهْرَهُ, شرقوا او غربوا
“Apabila kamu sekalian membuang hajat, maka janganlah menghadap ke kiblat dan jangan membelakanginya, baik buang air kecil maupun buang air besar”. (H.R Bukhari, Muslim).
Kemudian hadis yang lain dari Abdullah bin Umar : yang artinya
 “Pada suatu hari, sungguh saya telah naik (masuk) ke rumah kami (tempat tinggal Hafsah, istri Nabi), maka saya melihat Nabi saw. di atas dua batang kayu (tempat jongkok buang hajat) untuk buang hajat dengan menghadap ke arah Bait al-Maqdis”. (Hadis riwayat al-Bukhari, Muslim).
Hadis tersebut di atas bila diteliti, maka tampak kontroversi dan masalah tersebut sangat menarik untuk diteliti. Hadis yang dikutip pertama berisi larangan buang hajat menghadap ke arah kiblat ataupun membelakanginya, sedang hadis yang dikutip berikutnya menyatakan bahwa Nabi pernah membuang hajat dengan menghadap ke Baitul Maqdis, yang berarti membelakangi kiblat. Menurut penelitan ulama hadis petunjuk kedua hadis di atas tidak bertentangan. Larangan Nabi berlaku bagi yang membuang hajat di lapangan terbka, sedang yang melakukan buang hajat di tempat tertutup, misalnya di WC. Penyelesaian dalam hal ini ditempuh dengan metode al-Jam’u. Dari berbagai penyelesaian yang telah ditempuh oleh ulama di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya tak ada pertentangan dalam nash-nash syariat, sebab satu kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Meskipun ada pertentangan itu terbatas pada zahirnya saja, bukan pada hakikat dan realitas. Dan atas dasar itu, kita wajib menghilangkannya tentang anggapan pertentangan ini.





























BAB III
PENUTUP

Dengan terciptanya makalah ini semoga kita bisa lebih memahami tentang  mata kuliah ulumul hadits khusunya pada pembahasan mengumpukan dua hadits yang berbeda supaya kita memahami bahwa hadits yang tampak bertentangan adalah hadits yang kedua-duanya bisa kita amalkan tanpa harus memaksakan atau mengada-ada. Dan mudah-mudahan makalah ini bisa bermanfaat khususnya bagi pemakalah dan bagi kita semua. Amiin






Referensi :
            http//www.scribd.com/mobile/doci,ent/32717750

No comments:

Post a Comment