BAB I
PENDAHULUAN
Alhamdulillahi rabbil’alamin puji syukur kehadirat
Allah SWT yang telah melimpahkan taufik dan hidayah-Nya sehingga kami bisa
menyelesaikan tugas makalAh ulumul hadits sholawat serta salam tak lupa kami
panjatkan kepada nabi Muhammad SAW yang telah memahami kepada kita tentang
syariat islam.
Dalam
makalah ini kami pemakalah akan sedikit membahas tentang masalah hadits-hadits
yang saling bertentangan yang setelah diteliti, ternyata salah satunya bukan dari
Nabi. Maka dengan mudah kita menyingkirkan hadis tersebut. Sekarang, ada hadis
yang saling bertentangan keduanya berasal dari Nabi, hadis yang sama-sama sahih
bukan hadis yang dhaif (lemah)
ataupun
maudhu’ (palsu). Hadis yang dhaif.dan maudhu’ tidak dimasalahkan
lebih
lanjut
tentang kandungan petunjuknya sebab hadis yang bersangkutan menurut
pandangan
ulama hadis tertolak sebagai hujah.
BAB II
MENGUMPULKAN DUA HADITS YANG
BERBEDA
(AL-JAM’U WA AL -TAUFIQ)
A. Definisi
al-Jam’u
Jam’u menurut bahasa
artinya mengumpulkan. Sedangkan menurut istilah yaitu
التَّوْقِفُ بَيْنَ الدَّلِيْلَيْنِ
المُتَعَارِضَيْنِ عَلَى وَجْهٍ يَزِيْلُ تَعَاِرضَهُمَا
"Menyelaraskan
atau menyesuaikan dua dalil yang saling bertentangan dengan suatu cara yang
dapat menghindarkan pertentangan tersebut (sehingga tidak ada pertentangan antara
keduanya dan atau dapat diamalkan secara bersama-sama)".
B. Macam-macam Jama'
- Mentakhshis 'Am-ny
Apabila terjadi pertentangan antara lafad 'am dan khash, maka ada dua kemungkinan.
Pertama, mungkin salah satunya lebih khash (khusus) daripada lainnya secara
mutlak. Kedua, mungkin ke-'am-annya dan ke-khash-annya hanya terletak pada satu
sisi saja. Apabila kondisi pertama terjadi maka lafad khash lebih diunggulkan
dan diamalkan daripada lafad 'am-nya. Karena lafad khash masih dapat
merealisasikan apa yang terkandung dalam lafad 'am. Mengamalkan lafad khash
berarti mengamalkan ketentuan kekhususannya dan mengamalkan lafad 'am berarti mengamalkan
ketentuan lain di luar ketentuan yang terkandung dalam lafad khusus. Apabila
kondisi kedua yang terjadi dan terdapat sesuatu yang dapat diunggulkan, maka
itulah yang diamalkan. Namun apabila tidak terdapat sesuatu yang dapat
diunggulkan, maka seorang mujtahid dapat memilih mana diantara keduanya yang
diamalkan. Keduanya tidak dapat diamalkan secara bersamaan.
Contoh, hadis nabi:
Dari Anas ibn Malik, Rasulullah SAW bersabda "Barangsiapa yang
lupa melaksanakan shalat, maka shalatlah di kala ingat". (HR. Bukhari
Muslim).
Bersamaan dengan larangan Rasulullah SAW, shalat di waktu karahah
(makruh) yaitu Dari Uqbah ibn Amr,
ia berkata: Rasulullah SAW
melarang kita melakukan shalat atau mengubur jenazah dalam tiga waktu: ketika
matahari terbit hingga agak tinggi, ketika matahari mencapai titik kulminasi
hingga tergelincir dan matahari terbenam". (HR. Muslim, Abu Dawud,
Nasa'i dan urmudzi)
Dari segi shalatnya, hadis ini bersifat khusus, karena menunjuk pada
sebagian shalat saja yaitu shalat qadla' Apabila ditinjau dari segi shalatnya,
maka hadis kedua bersifat umum. Namun apabila ditinjau dari segi waktunya, maka
hadis kedua bersifat khusus, karena menunjuk pada sebagian waktu saja, yaitu
waktu makruh. Dari sinilah madzab Syafi'i mengunggulkan hadis pertama. Sehingga
mereka memperbolehkan mengqada' shalat yang tertinggal pada waktu karahah.
2. Mentaqyid muthlaq-nya
Mayoritas ulama berpendapat bahwa lafad muthlaq dapat dipahami secara muqayyad.
Artinya, lafad muthlaq yang terdapat pada salah satu hadis yang bertentangan
harus dipahami secara muqayyad berdasarkan hadis satunya. Sebagaimana contoh
hadis yang berarti:
Dari Nafi' dari Umar ra. Bahwasanya rasulullah SAW.
Mewajibkan zakat fitrah sebanyak satu sha' kurma atau gandum kepada setiap
muslim yang merdeka, budak, laki-laki maupun perempuan. (HR. Muslim).
Bukhari juga meriwayatkan hadis lain tanpa menyebutkan lafad:
"setiap muslim". Turmudzi berkata, Lebih dari satu rawi yang
meriwayatkan hadis tersebut dengan tanpa menyebut lafad setiap muslim. Dalam
kedua hadis tersebut terdapat obyek hukum yang sama yaitu zakat fitrah, dan
ketentuan hukum yang sama yaitu wajibnya zakat fitrah. Mutlaq dan muqayyadnya
terdapat pada sebab hukumnya, yaitu seseorang yang ditanggung wajib zakatnya
(muzakki). Pada hadis pertama, wajib zakat dibatasi dengan sifat Islam
(muslim), sedang hadis kedua, wajib zakat tidak dibatasi dengan sifat tersebut.
Artinya, lafad mutlaq yang terdapat pada hadis kedua harus dipahami secara
muqayyad berdasarkan hadis pertama. Sehingga zakat fitrah tidak diwajibkan
kecuali pada orang muslim yang menjadi tanggungan wajib zakat. Selanjutnya
ulama berperndapat bahwa zakat tidak diwajibkan kepada selain orang Islam.
Begitu pula, budak (orang yang menjadi tanggungan) yang non Islam.
C. Penggabungan didahulukan sebelum pentarjihan
Kasus tentang petunjuk hadis yang tampak saling bertentangan itu telah
terjadi juga pada zaman sahabat dan memang tidak menyeluruh untuk semua hadis,
tetapi bersifat parsial yang dimuat secara berserak bersama dengan
pendapat-pendapat ulama sesudah zaman sahabat Nabi dalam berbagai kitab,
khususnya kritik ataupun syarah hadis. Sehingga ilmu ini ada yang menyebut
dengan Ikhtilaf al-Hadis, atau musykil al-Hadis, atau talfiq
al-Hadis. Keberadaan ilmu mukhtalif hadis jelas sangat membantu mengatasi
kesulitan ini. Selanjutnya ilmu ini tidak hanya dibutuhkan oleh ulama hadis,
tetapi juga ulama lain, seperti ulama fiqh. Orang yang pertama menyusun buku
yang berbicara tentang problema ini adalah Imam Syafi’i (150-240 H) dengan
kitabnya Ikhtilaf al-Hadis. Untuk menyelesaikan hadis-hadis yang
kandungannya tampak bertentangan,
cara yang ditempuh oleh ulama tidak sama, ada yang menempuh satu cara dan
ada
yang menempuh lebih dari satu cara dengan urutan yang berbeda. Istilah
yang banyak dijumpai dalam hal ini antara lain:
- Al-Tarjih (meneliti dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki argument yang lebih kuat)
- al-Jam’u, al-taufiq atau al-talfiq, (kedua hadis yang dikompromikan, atau sama-sama diamalkan sesuai)
- Al-Nasikh wa al-Mansukh (petunjuk hadis yang satu sebagai penghapus sedang hadis yang satunya lagi sebagai yang dihapus).
- Al-Tauqif (menunggu samapai ada petunjuk atau dalil yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan pertentangan).
Imam Syafi’i mengemukakan empat jalan
keluar: pertama, mengandung makna universal (mujmal) dan lainnya terperinci
(mufassar); kedua, mengandung makna umum dan lainnya khusus; ketiga, mengandung
makna penghapus dan yang lainnya dihapus; dan keempat, keduanya mungkin dapat diamalkan.
Sementara al-Qarafi (w. 684 H) menempuh metode al-tarjih, yaitu dengan cara
mencari petunjuk yang mempunyai alasan yang kuat. Dengan metode ini dimungkinkan
akan ditempuh cara nasikh wa al-mansukh dan al-jam’u. lain halnya
dengan Ibn Salah dan Fasih al-Hawari (w. 837 H), yang menempuh tiga macam
metode: al-Jam’u, al-Nasikh wa al-Mansukh, dan al-Tarjih.
Sedangkan Ibn Hajar al-Asqalani menempuh empat cara: yaitu al-Jam’u, al-Nasikh
wa al- Mansukh, al-Tarjih, al-Tawqif. Walaupun cara penyelesaian ulama
berbeda-beda, namun tidaklah berarti bahwa hasil penyelesaiannya harus berbeda
juga. Dinyatakan demikian karena ulama pada umumnya lebih mengutamakan cara
a-Jam’u, sekiranya cara itu dapat diterapkan, juga penyelesaian yang diberi
istilah yang berbeda, hasilnya banyak yang menunjukkan kesamaan.
Berikut ini dikemukakan sekedar contoh tentang hadis-hadis yang tampak
bertentangan dan cara penyelesaian ulama:
1. Hadis tentang ziarah kubur bagi
wanita.
Hadis yang berkaitan dengan ziarah kubur bagi wanita, yaitu:
حَدّثَنَا قُتَيْبَةُ
حَدّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عُمَرَ بْنِ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ أَنّ رَسُولَ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ
لَعَنَ زَوّارَاتِ
الْقُبُورِ .
Artinya:
“Dari Abu Hurairah r.a., bahwa Rasulullah saw. melaknati wanita-wanita
yang
terlalu sering berziarah kubur”.
Hadis di atas bertentangan dengan hadis:
زُوْرُوا القُبُوْرَ فَإِنَّهَا
تَذْكِرَ المَوْتَ.
Artinya:
“Berziarahlah kubur, sesungguhnya berziarah kubur itu mengingatkan
tentang kematian”.
Kedua hadis di atas berkualitas sahih. Pada hadis pertama, dianggap bertentangan
dengan hadis kedua. Hadis pertama berisi ketidak senangan Nabi yang bisa
diartikan sebagai larangan kepada wanita-wanita yang terlalu sering berziarah
kubur. Sedangkan hadis kedua berisi perintah secara umum baik untuk laki-laki
dan perempuan untuk berziarah ke kubur, karena hal tersebut dapat mengingatkan
manusia terhadap adanya kematian.
2. Larangan dan kebolehan buang hajat menghadap kiblat yang
artinya :
عن ابي ايوب النصاري قال:
قال رسول الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلّمَ : اِذَا اَتَى اَحَدُكُمْ الغَائِطَ فَلَا
يَسْتَقْبِلْ القِبْلَةَ وَ لاَ يُوَلّىِ ظَهْرَهُ, شرقوا او غربوا
“Apabila kamu
sekalian membuang hajat, maka janganlah menghadap ke kiblat dan jangan
membelakanginya, baik buang air kecil maupun buang air besar”. (H.R Bukhari,
Muslim).
Kemudian hadis yang lain dari Abdullah bin Umar : yang artinya
“Pada suatu hari, sungguh saya
telah naik (masuk) ke rumah kami (tempat tinggal Hafsah, istri Nabi), maka saya
melihat Nabi saw. di atas dua batang kayu (tempat jongkok buang hajat) untuk
buang hajat dengan menghadap ke arah Bait al-Maqdis”. (Hadis riwayat
al-Bukhari, Muslim).
Hadis tersebut di atas bila diteliti, maka tampak kontroversi dan masalah
tersebut sangat menarik untuk diteliti. Hadis yang dikutip pertama berisi larangan
buang hajat menghadap ke arah kiblat ataupun membelakanginya, sedang hadis yang
dikutip berikutnya menyatakan bahwa Nabi pernah membuang hajat dengan menghadap
ke Baitul Maqdis, yang berarti membelakangi kiblat. Menurut penelitan ulama
hadis petunjuk kedua hadis di atas tidak bertentangan. Larangan Nabi berlaku
bagi yang membuang hajat di lapangan terbka, sedang yang melakukan buang hajat
di tempat tertutup, misalnya di WC. Penyelesaian dalam hal ini ditempuh dengan
metode al-Jam’u. Dari berbagai penyelesaian yang telah ditempuh oleh
ulama di atas dapat dipahami bahwa pada dasarnya tak ada pertentangan dalam
nash-nash syariat, sebab satu kebenaran tidak akan bertentangan dengan
kebenaran. Meskipun ada pertentangan itu terbatas pada zahirnya saja, bukan
pada hakikat dan realitas. Dan atas dasar itu, kita wajib menghilangkannya
tentang anggapan pertentangan ini.
BAB III
PENUTUP
Dengan
terciptanya makalah ini semoga kita bisa lebih memahami tentang mata kuliah ulumul hadits khusunya pada
pembahasan mengumpukan dua hadits yang berbeda supaya kita memahami bahwa
hadits yang tampak bertentangan adalah hadits yang kedua-duanya bisa kita
amalkan tanpa harus memaksakan atau mengada-ada. Dan mudah-mudahan makalah ini
bisa bermanfaat khususnya bagi pemakalah dan bagi kita semua. Amiin
Referensi :
http//www.scribd.com/mobile/doci,ent/32717750
No comments:
Post a Comment