Sosial icon

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/06/menambahkan-widget-icon-sprite-media.html#ixzz2Drh6nLxy

Tuesday, January 6, 2015

PENGHIANATAN SYI'AH DIBALIK RUNTUHNYA KEKHILAFAHAN ISLAM

Pengkhiatan Syiah di balik runtuhnya
kekhilafahan Islam

Baghdad baru saja ditaklukkan oleh pasukan Tartar. Pusat pemerintahan
Dinasti Abbasiyah dan situs-situs peradaban Islam diluluhlantakkan.
Pasukan yang dipimpin oleh Hulagu Khan dari ras Mongolia itu berhasil
menaklukkan salah satu kota yang menjadi simbol gemilangnya peradaban
Islam pada 656 Hijriyah. Sejarah menceritakan, sungai di Baghdad yang
jernih berubah pekat menghitam akibat ribuan, bahkan jutaan buku yang
ditenggelamkan. Sebagian lagi terbakar oleh keganasan invasi pasukan kafir
tersebut. Takluknya Baghdad menandai runtuhnya imperium Khilafah
Abbasiyah yang dikenal sebagai salah satu pusat peradan Islam.
Mengenai keruntuhan Baghdad dan penyerangan pasukan Tartar, sejarawan
Dr. Raghib As-Sirjani menceritakan kisah ini dalam bukunya “Qishah At-
Tatar min Al-Bidayah ila ‘Ain Jalut” (hlm. 129-170). Sedangkan sejarawan
lainnya, Dr. Muhammad Ali Ash-Shalabi menceritakan dengan apik dalam
bukunya “Al-Moghul Baina Al-Intisyar wa Al-Inkisyar” (hlm.310-312). Kedua
sejarawan tersebut sangat mumpuni dalam bidangnya, karena disamping
sebagai sejarawan (mu’arrikh ), mereka juga ahli hadits ( muhaddits ), yang
bisa memilah mana kisah-kisah palsu dan mana yang mu’tabar.
Kejatuhan Daulah Abbasiyah ke tangan pasukan Tartar tak lepas dari
pengkhianatan tokoh Syiah Rafidhah bernama Alauddin Ibnu Alqami. Dalam
keterangan lain, kejatuhan Baghdad karena adanya konspirasi antara
pasukan Tartar dan kelompok Syiah Qaramithah yang mempunyai hasrat
menjatuhkan pemerintahan Daulah Abbasiyah, kemudian menggantikannya
dengan Daulah Fathimiyah.
Ia diangkat sebagai perdana menteri oleh Khalifah Al-Mu’tashim Billah.
Namun Ibnu Alqani memendam hasrat untuk merampas kekhilafahan
Abbasiyah agar jatuh ke tangan Dinasti Fathimiyah. Ibnu Alqani
berkorespondensi dengan pimpinan bangsa Tartar dan mendukung pasukan
kafir tersebut masuk dan menyerang kota Baghdad. Ibnu Katsir
menceritakan, “Ibnu Alqani menulis surat kepada pasukan Tartar yang
intinya mendukung mereka menguasai Baghdad dan siap melicinkan jalan
bagi mereka (Tartar). Ia membeberkan kepada mereka kondisi terakhir
Khilafah Abbasiyah, termasuk kelemahan pasukan Al-Mu’tashim. Itu semua
tiada lain karena pada tahun tersebut ia ingin melihat Khalifah Abbasiyah,
Al-Mu’tashim, tumbang, dan bid’ah aliran sesat Syiah Rafidhah berkembang
pesat. Khalifah diambil oleh Dinasti Fathimiyah, para ulama dan mufti
sunnah musnah.” (Lihat: Al-Bidayah wa An-Nihayah , XIII/202)
Baghdad berhasil takluk. Khalifah Al-Mu’tashim Billah wafat terbunuh pada
14 Shafar 656 H/1258 M. Pembunuhan Al-Mu’tashim tak lepas dari
pengkhianatan Ibnu Alqani dan Nashiruddin Ath-Thusi, yang menjalin
hubungan dengan Hulagu Khan. Pengkhianatan itu mengakibatkan
banyaknya ulama yang terbunuh, sekolah-sekolah dan masjid yang hancur,
perpustakaan sebagai gudang ilmu luluhlantak, dan kekejaman lainnya yang
luar biasa. Baghdad yang indah dan megah bersimbah darah. Kaum
muslimin ketika itu berduka. Pusat peradaban Islam yang gemilang, tinggal
kenangan.
Setelah berhasil menaklukkan Baghdad, pada 22 Shafar 657 Hijriyah
pasukan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan kemudian bergerak menuju
Syam, wilayah yang menjadi pusat kekuasaan Islam pada masa itu. Mereka
melakukan invasi dengan menyeberangi sungai Furat dan mengepung pintu
masuk Syam selama tujuh hari. Pengepungan berhasil, bangsa Tartar
kemudian masuk menyerbu kota. Sejarawan Ali Muhammad Ash-Shalabi
mengatakan, Aleppo (halb) adalah kota pertama yang menjadi tujuan
penaklukan Hulagu dan pasukannya, yang ketika itu dipimpin oleh Al-Malik
Al-Mu’zham Tauran Syah, wakil dari Malik An-Nashir. Sebelum memasuki
Aleppo, sebagaimana kebiasaan Hulagu, ia memberi peringatan penguasa
agar tunduk dan menyerah. Namun, peringatan Hulagu Khan ditanggapi
oleh Al-Malik Al-Mu’zham Tauran Syah dengan mengatakan, “Tidak ada
yang pantas bagi kalian dari kami, kecuali pedang…!”
Hulagu Khan kemudian mengirim panglimanya yang bernama Katabgha
untuk menaklukkan kota Damaskus pada akhir bulan Rajab, tahun 658
Hijriyah. Penaklukan berlangsung tanpa perlawanan, hingga akhirnya
Damaskus yang merupakan kota terbesar di Suriah selain Aleppo, berhasil
tunduk pada kekuasaan Tartar.
Negeri Syam yang dikenal sebagai tanah yang berkah, saat itu terkotori
dengan ulah pasukan Tartar. Kemenangan pasukan Tartar kemudian
dimanfaatkan oleh orang-orang Nashrani untuk mendekati Hulagu Khan.
Mereka membujuknya agar Hulagu membiarkan umat Nashrani menyiarkan
agamanya. Setelah mendapat persetujuan, umat Nashrani berkeliling kota
mengangkat salib-salib mereka di atas kepala, sambil berteriak
mengatakan, “Agama yang benar adalah agama Al-Masih..”. Mereka
mengarak salib-salib besar mereka keliling kota, kemudian memaksa para
penduduk untuk berdiri menghormati salib tersebut. Tartar ketika itu
mengangkat seorang pemimpin di Damaskus yang bernama Ibil Siyan,
pemimpin yang dikenal sangat melindungi kaum Nashrani.
Kota Damaskus dan Aleppo berhasil ditaklukkan. Kota yang bersejarah dan
menyimpan peradaban Islam itu harus menyerah pada kekuatan pasukan
Tartar. Jika Baghdad berhasil ditaklukkan oleh bangsa Tartar karena
pengkhianatan Syiah Rafidhah, maka diantara faktor yang melemahkan
semangat jihad umat Islam di negeri Syam saat itu adalah pengkhianatan
kelompok Syiah Nushairiyah. Melalui para pemimpinnya, mereka berusaha
merapat pada Hulagu Khan, dengan iming-iming yang ditawarkan pada
pimpinan pasukan Tartar itu berupa harta milik kaum Muslimin yang berhasil
dilumpuhkan. Diantara pemimpin Syiah yang berkhianat terhadap umat
Islam adalah Syaikh Al-Fahr Muhammad bin Yusuf bin Muhammad Al-Kanji.
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menceritakan hal ini dalam buku
monumentalnya, Al-Bidayah wa An-Nihayah , dengan menulis, “Ia adalah
tokoh Syiah yang telah membujuk bangsa Tartar dengan harta kaum
Muslimin. Ia sosok berhati busuk, orientalistik, dan meminta bantuan
mereka (Tartar) dengan harta kaum muslimin…”
Dr. Imad Ali Abdus Sami Husain dalam bukunya “Khianaat Asy-Syiah wa
Atsaruha fi Hazaimi Al-Ummah Al-Islamiyah” menceritakan bahwa ketika
pasukan Tartar masuk ke kota Aleppo pada 658 Hijriyah, merampas dan
mencuri harta dan tanah kaum muslimin di kota itu, pimpinan Syiah yang
bernama Zainuddin Al-Hafizhi justru mengagung-agungkan Hulagu Khan
dan meminta kepada umat Islam untuk tunduk menyerah dan tidak
mengobarkan api perlawanan terhadap pasukan penjajah tersebut
Padahal Ketika itu, Raja An-Nashir yang berasal dari kalangan sunni sudah
berkirim surat kepada Raja Al-Mughits di Kurk dan Al-Muzhaffar Qutuz di
Mesir untuk mengirimkan bala bantuan kepada kaum muslimin di Aleppo.
Namun sayang, kondisi mereka yang ketika itu juga dalam keadaan lemah,
tidak mampu memenuhi permintaan Raja An-Nashir.
Sikap pemimpin Syiah Nushairiyah, Zainuddin Al-Hafizhi, memantik
kemarahan Malik Az-Zhahir Ruknuddin Baybars Al-Bunduqdari. Ia begitu
marah kepada pemimpin Syiah itu, kemudian memukulnya sambil
mengatakan, “Kalianlah penyebab kehancuran kaum Muslimin!” Baybars
adalah tokoh pejuang Muslim asal Kazakhstan yang kemudian berjihad
melawan bangsa Tartar dan kaum Kristen, dan wafat di Damaskus. Namanya
begitu dikenal sebagai pahlawan Islam yang cukup ditakuti dan disegani
musuh. ( Mausu’ah At-Tarikh Al-Islamiy: Al-Ashr Al-Muluki, Amman: Dar
Usamah li An-Nasyr, 2003, hlm. 24-36)
Seorang ulama bernama Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdul
Salam bin Taimiyah Al-Harrani atau biasa disebut Syaikh Ibnu Taimiyah,
yang berjuluk hujjatul Islam , termasuk orang yang berjuang melawan
pasukan Tartar. Ia juga mengetahui bagaimana kelompok Syiah Nushairiyah
berkhianat terhadap kaum muslimin. Karenanya, Ibnu Taimiyah yang tahu
persis bagaimana sepak terjang kelompok Syiah ekstrem ini, menyatakan
bahwa mereka adalah kaum kafir dan non muslim yang harus diperangi.
Ketika orang-orang Tartar mengepung kota Damaskus, Ibnu Taimiyah
dengan lantang mengatakan,”Jangan kalian serahkan benteng ini, meskipun
tinggal satu batu bata saja, karena benteng ini adalah untuk kepentingan
kaum muslimin. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menjaga benteng
ini untuk kaum muslimin, sebagai perisai bagi penduduk Syam yang menjadi
pusat iman dan sunnah, sampai Isa Ibnu Maryam Alaihissalam turun di
sana.”
Dalam buku Tarikh Al-Alawiyyin yang ditulis penganut Syiah Nushairiyah,
Muhammad Amin Ghalib Ath-Thawil dijelaskan bahwa sikap kooperatif
mereka dengan bangsa Tartar adalah bagian dari siasat untuk
mengembalikan kekuasaan mereka, yang menurutnya telah dirampas oleh
kaum Sunni.
Tarikh Al-Alawiyyin juga menjelaskan bagaimana kerjasama tokoh Syiah di
Aleppo, Thamur Thusi, yang bekerjasama dengan Timur Lenk untuk
menguasai kota tersebut. Timur Lenk membunuh kaum muslimin sunni dan
membiarkan mereka yang menjadi pengikut Alawiyah. Timur Lenk adalah
penganut Syiah Rafidhah yang wafat pada 808 Hijriyah. Anak keturunannya
pun mengikuti jejak keyakinan Timur Lenk sebagai penganut ajaran Syiah.
Karenanya, di setiap wilayah kekuasannya, Syiah banyak terlibat dalam
pemerintahan, termasuk di negeri Persia (Iran). (Lihat: Tarikh Alawiyyin,
hlm. 407)
Negeri Syam, termasuk wilayah Damaskus, berhasil kembali ke tangan kaum
muslimin, setelah pasukan Syaifuddin Quthuz dan panglima Malik Azh-
Zhahir Ruknuddin Baibars Al-Bunduqdari berhasil mengalahkan pasukan
Tartar dalam Perang Ain Jalut, sebuah wilayah di Palestina. Perang yang
berlangsung pada 25 Ramadhan 659 H/September 1260 M itu berhasil
memukul mundul pasukan Tartar dan membuat mereka lari tunggang
langgang menyebar ke beberapa wilayah. Pasukan yang dipimpin oleh
Syaifuddin Quthuz dan panglima Baibars, berhasil membunuh seorang
pemimpin dari sekte Syiah Rafidhah di Damaskus, karena keberpihakan
tokoh tersebut kepada pasukan Tartar dalam merampas dan menjarah harta
kaum muslimin. Dengan kemenangan di Perang Ain Jalut ini, Syaifuddin
Quthuz yang berasal dari Kerajaan Mamalik Bahriyah (kerajaan wilayah
maritim yang dibangun oleh para budak) kemudian menggabungkan negeri
Syam dengan Mesir, sehingga kekuasaannya semakin luas.
Ada yang menarik dalam buku “Al-Maushu’ah Al-Muyassarah fi At-Tarikh
Al-Islamiy” . Tim Riset dan Studi Islam sebagai penyusun buku itu, membuat
sub bab berjudul “Baybars dan Sekte Bathiniyah”. Buku yang diberi kata
pengantar oleh ahli sejarah dari Mesir, Dr. Raghib As-Sirjani ini menulis,
“Baibars berhasil menundukkan Sekte Bathiniyah, cabang dari Sekte
Ismailiyah di Syam. Orang-orang Eropa menyebut sekte ini Al-Hasyasyin.
Sebelumnya mereka adalah ancaman bagi raja-raja Mesir, sejak masa
pemerintahan Shalahuddin Al-Ayyubi.” (Tim Riset dan Studi Islam Mesir,
Ensiklopedi Sejarah Islam Jilid I (terj), Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2013,
hlm.478)
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa pada masa lalu, Syiah Rafidhah, baik
itu Sekte Ismailiyah, Nushairiyah, Qaramithah, dan Syiah ekstrem lainnya
telah melakukan pengkhianatan terhadap umat Islam di Syam. Sejarah juga
mencatat, mereka kemudian diperangi oleh para pemimpin Islam. Sultan
Shalahuddin Al-Ayyubi yang dikenal sebagai penakluk Baitul Maqdis, semasa
berkuasa terus berusaha mengikis habis pengaruh Syiah Rafidhah, baik
pengaruh dari buku-buku, maupun pengaruh dari para pemimpin mereka.
Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi berusaha memerangi kelompok Syiah
Rafidhah yang bercokol di Mesir, Yaman, dan Syam. (Lihat: Dr. Ali
Muhamamd Ash-Shallabi, Shalahuddin Al-Ayyubi wa juhduhu fi Al-Qadha
Ad-Daulah Al-Fathimiyah wa Tahrir Bait Al-Muqaddas, Mesir: Daar Ibnu Al-
Jauzi, 2007, hlm. 257-258
Pengkhianatan Selanjutnya
Ketika Daulah Utsmaniyah berusaha menguasai Syam dan merebutnya dari
penjajahan bangsa Eropa; Perancis dan Inggris, pengkhianatan kelompok
Syiah Nushairiyah juga terus berlangsung. Jumlah mereka yang minoritas,
selalu menyimpan ketakutan akan sikap diskriminasi kelompok Sunni yang
menjadi warga mayoritas di Syam. Karenanya, Tokoh Syiah Nushairiyah
Shaleh Al-Alawi bahkan menjalin hubungan dan menandatangani nota
kesepahaman dengan tokoh sekular Yahudi Dunamah Turki, Mustafa Kamal
Attaturk pada tahun 1920. Nota kesepahamaman ini tentu saja bertujuan
membendung pengaruh imperium Utsmani di Syam, khususnya di wilayah
Suriah yang juga menjadi musuh kaum sekularis seperti Attaturk.
Karenanya, Attaturk dengan organisasinya Ittihad wa At-Taraqi (Partai
Persatuan dan Kemajuan) berhasil menumbangkan Khilafah Utsmaniyah
pada 1924.
Kelompok Syiah Nushairiyah tentu mempunyai kepentingan untuk
menyelamatkan entitasnya jika Daulah Utsmaniyah tetap bercokol di Syam.
Mereka khawatir, Daulah Utsmaniyah yang Sunni akan memposisikan
mereka secara diskriminatif. Kekhawaturan inilah yang kemudian terus
terpelihara sehingga mereka merasa perlu melakukan berbagai
pengkhianatan terhadap umat Islam dengan berkolaborasi pada musuh-
musuhnya. Padahal sesungguhnya sikap khianat mereka adalah ambisi
untuk merebut kekuasaan sehingga terbentuk rezim Syiah. Belakangan
terbukti, rezim Syiah Nushairiyah yang minoritas, justru melakukan berbagai
aksi diskriminasi dan kekejaman terhadap kaum muslimin di Suriah.
Sebuah dokumen luar negeri Perancis, Nomor 3547 tertanggal 15 Juni 1936
melansir adanya surat dari tokoh-tokoh Alawiyah/Nushairiyah kepada
pemerintah Perancis, yang diantaranya ditandatangani oleh Sulaiman Al-
Asad, kakek dari Hafizh Asad. Surat tersebut berisi permohonan agar
Perancis tetap bersedia berada di wilayah Suriah, karena mereka khawatir,
jika Perancis hengkang, keberadaan mereka terancam. Surat tersebut
berbunyi:
“Presiden Perancis yang terhormat,
Sesungguhnya bangsa Alawiyah yang mempertahankan
kemerdekaannya dari tahun ke tahun dengan penuh semangat dan
pengorbanan banyak nyawa. Mereka adalah masyarakat yang
berbeda dengan masyarakat Muslim (Sunni), dalam hal keyakinan
beragama, adat istiadat, dan sejarahnya. Mereka tidak pernah
tunduk pada penguasa dalam negeri.
Sekarang kami lihat bagaimana penduduk Damaskus memaksa
warga Yahudi yang tinggal bersama mereka untuk tidak mengirim
bahan pangan kepada saudara-saudara mereka kaum Yahudi yang
tertimpa bencana di Palestina! Kaum Yahudi yang baik, yang
datang ke negeri Arab yang Muslim dengan membawa peradaban
dan perdamaian, serta menebarkan emas dan kesejahteraan di
negeri Palestina, tanpa menyakiti seorang pun, tak pernah
mengambil sesuatupun dengan paksa. Namun demikian, kaum
muslimin menyerukan “Perang Suci” untuk melawan mereka,
meskipun ada Inggris di Palestina dan Perancis di Suriah.
Kita menghargai kemuliaan bangsa yang membawa kalian
membela rakyat Suriah dan keinginannya untuk merealisasikan
kemerdekaannya. Akan tetapi Suriah masih jauh dari tujuan yang
mulia. Ia masih tunduk pada ruh feodalisme agama terhadap kaum
muslimin.
Kami sebagai rakyat Alawiyah yang diwakili oleh orang-orang
yang bertandatangan di surat ini berharap, pemerintah Perancis
bisa menjamin kebebasan dan kemerdekaannya, dan menyerahkan
nasib dan masa depannya kepadanya (Alawiyah, pen). Kami yakin
bahwa harapan kami pasti mendapaykan dukungan yang kuat dari
mereka untuk rakyat Alawiyah, teman yang telah memberikan
pelayanan besar untuk Perancis.”
Demikian surat yang ditulis oleh tokoh-tokoh Syiah Nushairiyah, yang
membujuk Perancis untuk tetap menjamin dan mendukung keberadaan
mereka. Surat tersebut ditandatangani oleh Sulaiman Asad (kakek Hafizh
Asad), Muhammad Sulaiman Ahmad, Mahmud Agha Hadid, Aziz Agha
Hawwasy, Sulaiman Mursyid, dan Muhammad Beik Junaid. (Lihat:Syaikh
Abu Mus’ab As-Suri, Rezim Nushairiyah: Sejarah, Aqidah dan Kekejaman
Terhadap Ahlu Sunnah di Syiria (terj), Solo: Jazeera, 2013, hlm. 65-66)
Pada saat ini, keberadaan rezim Syiah Nushairiyah di Suriah mendapat
dukungan yang kuat dari kelompok Syiah Itsna Asyariyah atau Syiah
Imamiyah di Libanon dan Iran. Mereka mempunyai kesamaan ajaran,
ideologi, bahkan cita-cita, untuk mewujudkan dendam mereka merebut
kekuasaan dari kelompok Sunni. Mereka yang hidup minoritas di Suriah,
kemudian berkolaborasi dengan bantuan Syiah di Libanon, melalui kelompok
militer Hizbullah yang dipimpin oleh Hasan Nashrullah, untuk bertahan dan
survive, serta mengamankan kekuasaan mereka yang direpresentasikan
dalam kekuasaan Rezim Bashar Al-Asad. Dimanapun, kelompok minoritas
akan selalu waspada, struggle , dan berjuang habis-habisan untuk
mengamankan eksistensinya. Bahkan, dalam kasus Suriah saat ini, mereka
berusaha mengamankan kekuasaan yang sudah sejak tahun 70-an mereka
pegang. Mereka khawatir, jika umat Islam berkuasa, maka keberadaan
mereka akan terusik. Padahal, mereka sesungguhnya adalah pengkhianat
yang tak bisa hidup berdampingan dengan kaum muslimin, selama akidah
mereka melecehkan para sahabat, dan mengganggap Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu Anhu sebagai tuhan atau menyatu dengan Tuhan.
Untuk mempertahankan keberadaanya, Syiah Nushairiyah sampai hari ini tak
segan-segan untuk berkhianat, bahkan berkolaborasi dengan musuh-musuh
Islam sekalipun. Sebagai kelompok minoritas di Suriah, mereka menerapkan
prinsip, “Sebaik-baik pertahanan adalah menyerang!”

BY
Ruhul Mustofa Alhusaini