Sosial icon

Read more: http://hzndi.blogspot.com/2012/06/menambahkan-widget-icon-sprite-media.html#ixzz2Drh6nLxy

Friday, March 6, 2015

JIHAD MENURUT ISLAM

‘Dan tentang orang-orang yang berjuang untuk bertemu dengan Kami, sesungguhnya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat kebajikan.’ (S.29 Al-Ankabut:69)
Kata bahasa Arab yaitu Jihad yang dikemukakan dalam ayat Al-Quran ini diterjemahkan sebagai ‘berjuang.’ Kata Jihad itu memang secara relatif pendek sekali tetapi implikasinya luar biasa dalam masyarakat Islam secara keseluruhan dan dalam kehidupan pribadi seorang Muslim. Jihad sebagaimana diperintahkan dalam Islam bukanlah tentang membunuh atau dibunuh tetapi tentang bagaimana berjuang keras memperoleh keridhaan Ilahi. Baik individual mau pun secara kolektif, Jihad merupakan suatu hal yang esensial bagi kemajuan ruhani.
Kata Jihad itu sama sekali tidak mengandung arti bahwa kita selalu dalam keadaan siap untuk berkelahi atau melakukan perang. Hal itu sama sekali jauh dari kebenaran dan realitas. Arti kata Islam sendiri berarti kedamaian dan semua usaha dan upaya kita sewajarnya diarahkan kepada penciptaan kedamaian serta harmoni di antara sesama kita, dalam komunitas dan dalam masyarakat secara keseluruhan.
Dalam kamus, kata Jihad diartikan sebagai berjuang tetapi juga sebagai ‘perang suci.’ Dalam kamus bahasa Inggris (Oxford Reference Dictionary) malah Jihad diartikan sebagai ‘perang untuk melindungi Islam dari ancaman eksternal atau untuk siar agama di antara kaum kafir.’ Kata suci dan perang sebenarnya tidak sinonim satu sama lain, bahkan saling bertentangan karena tidak ada yang suci pada dampak dan kengerian peperangan. Sangat menyedihkan bahwa kata ‘Jihad’ ini di masa kini sudah demikian disalah-artikan oleh bangsa-bangsa Barat, khususnya dalam media mereka. Sepintas, kesalah-pahaman demikian bisa dimengerti karena dalam milenium terakhir ini ada beberapa kelompok Muslim ekstrim dimana pimpinan mereka menterjemahkan ‘Jihad’ sebagai Perang Suci. Mereka mengenakan kata Jihad itu pada segala perang yang mereka lakukan, apakah untuk tujuan politis, ekonomi atau pun motivasi ekspansi. Akibat dari kesalahan istilah demikian, agama Islam secara keliru telah dituduh mendapatkan pengikutnya melalui cara pemaksaan dan laku kekerasan.
Kata Jihad itu sendiri dalam Al-Quran digunakan dalam dua pengertian: – Jihad fi Sabilillah – berjuang keras di jalan Allah, – Jihad fi Allah – berjuang keras demi Allah. Arti kata yang pertama menyangkut perang mempertahankan diri dari musuh kebenaran ketika mereka berusaha memusnahkan agama ini, sedangkan pengertian kata yang kedua adalah berusaha atau berjuang keras guna memenangkan keridhoan dan kedekatan kepada Allah s.w.t.. Kata yang kedua itu lebih mengandung signifikasi keruhanian yang lebih tinggi dibanding kata yang pertama.
Jihad ada tiga jenis:
Berjuang melawan sifat dasar yang buruk dalam diri sendiri yaitu melawan nafsu dan kecenderungan kepada kejahatan.
Berjuang melalui karya tulis, bicara dan membelanjakan harta guna penyiaran kebenaran Islam serta mengungkapkan keindahannya kepada non-Muslim.
Berjuang melawan musuh kebenaran, termasuk di dalamnya perang membela diri.
Rasulullah s.a.w. mengistilahkan kedua Jihad yang pertama sebagai Jihad Akbar sedangkan yang ketiga sebagai Jihad Ashgar (Jihad yang lebih kecil). Suatu ketika saat kembali dari suatu peperangan, beliau menyatakan:
‘Kalian telah kembali dari Jihad yang kecil (berperang melawan musuh Islam) untuk melakukan Jihad yang lebih besar (berperang melawan nafsu rendah). (Khatib)
Jihad Ashgar
Kami akan menjelaskan terlebih dahulu Jihad yang kecil yaitu Jihad Ashgar sebelum mengulas Jihad Akbar. Usia Muhammad Rasulullah s.a.w. adalah empat puluh tahun saat datang panggilan Ilahi. Wahyu dan perintah pertama yang diterima beliau sebagai bagian dari Al-Quran adalah:
‘Bacalah dengan nama Tuhan engkau yang telah menciptakan; menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah ! Dia Tuhan engkau adalah Maha Mulia; yang mengajar dengan pena; mengajar manusia apa yang tidak diketahuinya.’ (S.96 Al-Alaq:1-5)
Perintah pertama Allah s.w.t. ini jelas sekali menyuruh beliau untuk menyebarkan ajaran Islam, baik secara lisan mau pun tulisan dan bukan dengan kekerasan, bukan dengan pedang atau pun tindakan agresif apa pun. Kata yang pertama saja sudah menyatakan untuk menyampaikan pesan, memaklumatkan ke seluruh dunia akan wahyu dan ajaran Allah s.w.t. melalui keluhuran Al-Quran.
Tak lama kemudian Rasulullah s.a.w. diperintahkan untuk menyatakan secara terbuka dan merata segala apa yang diwahyukan kepada beliau. Upaya beliau menyampaikan pesan Ilahi ini kepada masyarakat sekeliling beliau di Mekah ternyata hanya membuahkan cemooh dan memancing kekerasan. Pada awalnya hanya ada empat orang yang beriman kepadanya dan ketika hal ini didengar penduduk Mekah, mereka lantas saja menertawakan dan mencemooh. Dengan bertambah banyaknya ayat Al-Quran yang diwahyukan, tambah banyak pula orang-orang yang tertarik dan mengikuti pesan baru itu, terutama para pemuda, yang lemah dan yang tertindas dalam masyarakat Mekah. Apalagi wanita, dimana mereka tertarik kepada agama baru ini karena agama tersebut memberikan harga diri dan kehormatan kepada mereka di tengah bapak, suami dan putra-putra mereka, suatu hal yang belum pernah mereka nikmati sebelumnya mengingat mereka terkadang diperlakukan lebih buruk dari hewan.
Keberhasilan Rasulullah s.a.w. ini berimbas buruk terhadap diri beliau dan para pengikut awal. Penduduk Mekah melancarkan laku aniaya yang tambah lama tambah kejam dan buas dengan berjalannya waktu. Mereka menjadi ketakutan bahwa agama baru itu akan mengakar kuat dan agama serta budaya mereka sendiri menjadi hancur karenanya. Karena rasa takut itulah maka penduduk Mekah yang kafir itu lalu menghunus pedang dan berpesta menjagal para hamba Allah yang setia dan benar. Jalan-jalan di kota Mekah menjadi merah oleh darah umat Muslim, namun mereka ini tetap saja tidak membalas. Kerendahan hati dan sikap istiqomah mereka malah mendorong para penganiaya tersebut untuk bertindak lebih kejam lagi dimana mereka memperlakukan umat Muslim dengan cara aniaya dan pelecutan yang ekstrim. Banyak orang tua yang harus menyaksikan anaknya dibantai di depan mata mereka sendiri dan beberapa orang tua disalib di depan mata anak-anaknya.
Apa yang menjadikan orang-orang itu beriman kepada Rasulullah s.a.w., seorang laki-laki yang pada waktu itu tidak memiliki kekuasaan atau pun kekayaan, beliau jelas tidak ada menghunus pedang guna memaksa pengikutnya untuk beriman kepadanya dan pesan yang dibawanya. Satu-satunya ‘pedang’ yang digunakan Rasulullah s.a.w. hanyalah Al-Quran, sebuah pedang ruhani, pedang kebenaran, yang secara alamiah telah menarik hati mereka yang tidak percaya, tanpa suatu agresi dalam bentuk apa pun. Demikian itulah keindahan, keagungan dan daya tarik Islam serta diri Muhammad yang menyiratkan kebaikan dan kasih sehingga mereka ini bersedia menyerahkan nyawa untuk itu. Adalah orang-orang non-Muslim, terutama penduduk Mekah, yang telah mengangkat pedang fisik mereka untuk menyerang umat Muslim guna memaksa mereka kembali kepada ajaran dan agama lama mereka.
Setelah Rasulullah s.a.w. hijrah ke Medinah, kekejaman bangsa kafir Quraish malah tambah melampaui batas. Mereka lantas membunuhi para pengikut lemah yang masih tertinggal di Mekah, termasuk wanita dan anak-anak yatim. Meski Rasulullah s.a.w. beserta banyak dari para sahabat telah hijrah ke Medinah, tetap saja mereka tidak dibiarkan hidup damai. Tetap saja mereka ini diganggu terus di tempat yang baru itu. Pada saat itu agama Islam yang baru muncul itu ditingkar musuh di segala penjuru dan terancam kepunahan. Berkenaan dengan keadaan seperti itulah maka perintah pertama tentang Jihad kecil lalu diwahyukan kepada Rasulullah s.a.w.:
‘Telah diperkenankan untuk mengangkat senjata bagi mereka yang telah diperangi, disebabkan mereka telah diperlakukan dengan aniaya dan sesungguhnya Allah berkuasa menolong mereka.’ (S.22 Al-Hajj:39)
Para ulama sependapat bahwa ini adalah ayat pertama yang memberi izin kepada umat Muslim untuk mengangkat senjata guna melindungi diri mereka. Ayat ini meletakkan dasar-dasar yang menjadi pedoman bagi umat Muslim dalam melakukan perang defensif. Jelas dikemukakan disitu alasan yang telah mendorong segelintir umat Muslim tidak bersenjata dan sarana lainnya untuk berperang mempertahankan diri setelah menderita dengan sabar sekian lamanya. Mereka menderita aniaya terus menerus selama bertahun-tahun di Mekah dan masih terus diburu kebencian meski telah hijrah ke Medinah. Alasan utama umat Muslim mengangkat senjata adalah karena mereka telah diperlakukan dengan aniaya. Mereka telah menderita tak terbilang lagi aniaya musuh dan perang telah dipaksakan terhadap mereka.
Ayat Al-Quran berikutnya menegaskan inferensi tersebut dimana dinyatakan bahwa izin untuk berperang diberikan karena umat Muslim telah diusir dari rumah mereka:
‘Orang-orang yang telah diusir dari rumah-rumah mereka tanpa hak, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” Dan sekiranya tidak ada tangkisan Allah terhadap sebagian manusia oleh sebagian yang lain, maka akan hancurlah biara-biara serta gereja-gereja Nasrani dan rumah-rumah ibadah Yahudi serta masjid-masjid yang banyak disebut nama Allah di dalamnya. Dan pasti Allah akan menolong siapa yang menolong-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa, Maha Perkasa.’ (S.22 Al-Hajj:40)
Secara spesifik Al-Quran menegaskan bahwa bentuk Jihad ini adalah berperang melawan mereka yang telah menyerang Islam terlebih dahulu, dimana ayat-ayat Al-Quran lainnya juga menguatkan hal ini. Umat Muslim hanya boleh mengangkat senjata untuk membela diri terhadap mereka yang telah terlebih dahulu menyerang dan hanya jika umat Muslim memang tertindas dan teraniaya. Hal inilah yang menjadi sukma dan esensi daripada Jihad Islamiah yang sekarang ini banyak disalah-artikan. Jelas tidak benar sama sekali jika dikatakan bahwa Rasulullah s.a.w. hanya memberikan pilihan kepada umat untuk bai’at atau mati, Islam atau pedang.
Jihad dengan pedang yang terpaksa dilakukan Rasulullah s.a.w. serta umat Muslim awal karena tekanan keadaan yang khusus, adalah suatu phasa yang bersifat selintas dalam penegakan fondasi Islam. Mereka yang berusaha menghancurkan Islam dengan pedang, akhirnya punah karena pedang juga. Kecuali ada suatu bangsa atau negara yang memaklumkan perang terhadap umat Muslim dengan tujuan memupus Islam dari muka bumi, tidak ada perang atau pertempuran yang dilakukan umat Muslim yang bisa disebut sebagai Jihad. Tujuan dari umat Muslim dalam mengangkat senjata tidak pernah untuk mengkaliskan siapa pun dari rumah atau harta benda atau pun kemerdekaan mereka. Jihad perang hanya dibenarkan untuk membela diri guna menyelamatkan Islam dari suatu kehancuran, menegakkan kemerdekaan berpendapat disamping juga untuk membantu mempertahankan tempat-tempat ibadah umat agama lain dari kerusakan atau penghinaan. Singkat kata, tujuan utama dari perang yang dilakukan umat Muslim adalah guna menegakkan kebebasan beragama dan beribadah, membela kehormatan diri dan kemerdekaan terhadap serangan tidak beralasan, dan itu pun kalau ada alasan bahwa hal tersebut akan terjadi lagi.
Umat Muslim di masa awal tidak memiliki pilihan lain kecuali berperang karena mereka terpaksa harus melakukannya. Perang yang bersifat agresif sejak dulu mau pun kini tetap dilarang oleh Islam. Kekuatan politis negeri-negeri Muslim tidak boleh digunakan untuk ambisi atau pengagulan pribadi, tetapi hanya untuk perbaikan kondisi rakyat yang miskin serta demi pengembangan perdamaian dan kemajuan. Contoh akbar mengenai hal ini ada pada saat Rasulullah s.a.w. beserta para pengikut beliau kembali ke Mekah dengan kemenangan. Beliau berbicara kepada penduduk Mekah, menyampaikan:
‘Kalian telah melihat betapa sempurnanya janji Allah. Sekarang beritahukan kepadaku hukuman apa yang pantas dikenakan kepada kalian atas segala kekejaman dan kebengisan kalian terhadap mereka yang kesalahannya hanyalah karena mereka telah mengajak kalian untuk menyembah Tuhan yang Maha Esa? Mendengar itu penduduk Mekah menjawab: “Kami ingin engkau memperlakukan kami seperti Yusuf memperlakukan saudara-saudaranya yang bersalah.” Mendengar permohonan tersebut, Rasulullah s.a.w. langsung menjawab “Demi Allah, kalian tidak akan dihukum sekarang ini dan tidak juga dimurkai.” (Hisham)
Al-Quran menyatakan:
‘Dan, perangilah mereka itu, sehingga tak ada lagi fitnah dan supaya agama menjadi seutuhnya bagi Allah. Tetapi, jika mereka berhenti, maka sesungguhnya Allah swt. Maha Melihat apa-apa yang mereka kerjakan.’ (S.8 Al-Anfal:39)
Ayat di atas menjelaskan kalau perang hanya boleh dilanjutkan sepanjang masih ada laku aniaya dan manusia belum bebas menganut agama yang mereka sukai. Jika musuh-musuh Islam menghentikan perang maka umat Muslim juga harus berhenti pula.
Bangsa yang paling pantas mendapat hukuman sesungguhnya penduduk Mekah itulah. Kalau Islam memang disiarkan melalui tekanan senjata, maka kejadian kemenangan umat Rasulullah s.a.w. atas Mekah merupakan saat paling tepat guna mengayunkan pedang untuk pembalasan dan penaklukan agar orang-orang masuk ke dalam Islam. Tetapi nyatanya tidak demikian, penduduk Mekah tunduk bukan karena pedang tetapi karena kasih sayang. Kasih kepada diri Rasulullah s.a.w. dan kecintaan pada ajaran Al-Quran yang mencerahkan kalbu.
Al-Quran menyatakan:
‘Tidak ada paksaan dalam agama. Sesungguhnya jalan benar itu nyata bedanya dari kesesatan. . .’ (S.2 Al-Baqarah:256)
Ayat di atas mengingatkan umat Muslim secara jelas dan gamblang untuk tidak menggunakan kekerasan dalam menarik non-Muslim ke dalam agama Islam. Dijelaskan juga alasannya mengapa kekerasan itu tidak perlu digunakan yaitu karena jalan yang benar telah nyata bedanya dari jalan kesesatan sehingga tidak ada pembenaran untuk menggunakan kekerasan. Rasulullah s.a.w. secara tegas diingatkan Allah s.w.t. agar tidak menggunakan kekerasan dalam upaya memperbaiki masyarakat. Status beliau ditegaskan dalam ayat Al-Quran:
‘Maka nasihatilah, sesungguhnya engkau hanya seorang pemberi nasihat. Engkau bukan penjaga atas mereka.’ (S.88 Al-Ghasyiyah:21-22)
Ajaibnya ayat di atas itu diwahyukan di Mekah di masa awal himbauan Rasulullah s.a.w. dimana beliau telah diisyaratkan akan memperoleh kekuasaan besar tetapi jangan menggunakannya untuk memaksakan kehendak diri beliau atas orang lain. Pada intinya Rasulullah s.a.w. tidak pernah menarik orang ke dalam agama Islam dengan kekuatan pedang tetapi melalui laku takwa, kasih dan pengabdian beliau kepada Allah s.w.t. yang telah menaklukkan hati para musuh sedemikian rupa sehingga mereka yang tadinya berniat membunuhnya malah kemudian tunduk di kaki beliau dan mempertahankan beliau dari serangan para musuh.
Pada saat haji perpisahan, Rasulullah s.a.w. dalam penutupan Khutbah Perpisahan beliau menyatakan:
‘Seperti halnya bulan ini suci, tanah ini tanah suci dan hari ini hari suci, demikian pula halnya Tuhan telah menjadikan jiwa, harta benda dan kehormatan tiap-tiap orang juga suci. Merampas jiwa seseorang atau harta bendanya atau menyerang kehormatannya adalah tidak adil dan salah, sama halnya seperti menodai kesucian hari ini, bulan ini dan daerah ini. Apa yang kuperintahkan pada hari ini dan di daerah ini berarti bukan hanya untuk hari ini. Perintah-perintah ini adalah untuk sepanjang masa. Kalian diharapkan mengingat dan bertindak sesuai dengannya sampai kalian meninggalkan alam dunia ini dan berangkat ke alam nanti untuk menghadap Khalik-mu.’
Sebagai penutup beliau bersabda:
‘Apa-apa yang telah kukatakan kepada kalian, sampaikanlah ke pelosok-pelosok dunia. Mudah-mudahan mereka yang tidak mendengarku sekarang akan mendapatkan faedah lebih daripada mereka yang telah mendengarnya.’ (Sihah Sitta, Tabari, Hisyam dan Khamis)
Kepedulian Rasulullah s.a.w. yang sangat atas kesejahteraan umat manusia dan penciptaan kedamaian di seluruh dunia sungguh tidak ada batasnya. Adalah suatu tragedi bahwa dalam masa sekitar seribu tahun terakhir ini para pemuka dan negeri Muslim, sebagian besar telah mengabaikan hakikat ajaran Al-Quran dan Rasulullah s.a.w. semata-mata hanya untuk pemuasan keserakahan dan nafsu kekuasaan atau mencari kekayaan. Mereka berperang satu sama lain untuk memperebutkan kekayaan duniawi dan melalui laku lajak mereka telah menganiaya orang-orang yang tidak berdosa. Secara culas mereka telah mengkhianati bangsanya sendiri dan sesama negeri Muslim hanya untuk mendapatkan kekayaan moneter dan kekuasaan dari musuh-musuh Islam. Sebagian besar dari pemuka ruhani dan duniawi telah menyesatkan bangsanya sendiri dan membawa kebusukan dalam tubuh, fikiran dan jiwa masyarakat. Pada masa kini, beberapa anak muda Muslim secara konyol telah ‘dicuci otaknya’ sehingga menganggap laku barbar, teror, bunuh diri dan pembunuhan yang mereka lakukan akan menjadikan mereka mendapat derajat syuhada. Sesungguhnya mereka ini telah membawa kebusukan ke ambang pintu agama yang katanya mereka cintai. Nama Islam sekarang tidak lagi bernuansa kedamaian melainkan disinonimkan dengan laku teror.
Sebagian besar negara-negara di dunia pernah melancarkan perang politis tetapi kelihatannya hanya negeri-negeri Muslim yang melaksanakan perang Jihad dimana mereka telah membantai satu sama lainnya. Berkaitan dengan itu perlu kiranya disinggung juga kejadian di New York (peristiwa 11 September) dan apa yang terjadi di Afghanistan dan Timur Tengah dimana ‘Jihad Islam’ telah dilancarkan membabi-buta oleh organisasi-organisasi Muslim ekstrim terhadap bangsa-bangsa non-Muslim.
Rasulullah s.a.w. ada mengingatkan bahwa umat Muslim di akhir zaman, terutama para pemuka mereka, akan jauh sekali dari hakikat Islam dan bahkan sebagian dari mereka akan menjadi seburuk-buruknya mahluk. Para pemuka ini akan menyesatkan para muda-mudi Muslim yang sebenarnya memiliki intelegensi cukup. Para pemuka ini mendidik dan mengindoktrinasi mereka bahwa jika mereka menyerahkan nyawa dalam apa yang mereka katakan sebagai jalan Islam, maka mereka ini akan langsung masuk surga sebagai suhada. Betapa bohongnya mereka itu dan betapa menipunya. Mestinya umat Islam bertanya kepada para pemuka itu “Atas kewenangan siapa kalian ini membuat pernyataan seperti itu?” Wahai muda-mudi Muslim yang diperintahkan melakukan tindakan mengerikan demikian, kalau seperti kata mereka itu bahwa kalian akan jadi suhada dan masuk surga, katakanlah kepada mereka silakan tunjukkan teladannya dengan melakukannya sendiri. Tanyakan kepada mereka itu ‘Mengapakah kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan?’ (S.61 Ash-Shaf: 2)
Laku demikian sama sekali tidak bisa disebut sebagai suatu amal saleh, bahkan lebih merupakan pencemaran nama Islam serta pendurhakaan terhadap firman Tuhan. Al-Quran jelas menyatakan:
‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta bendamu antara sesamamu dengan jalan batil, kecuali yang kamu dapatkan dengan perniagaan berdasar kerelaan di antara sesamamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah Maha Penyayang terhadapmu.’ (S.4 An-Nisa: 29)
Kata-kata ‘janganlah kamu membunuh dirimu’ melarang keras tindakan bunuh diri. Disamping itu apakah mungkin laku pembunuhan orang-orang tidak berdosa dianggap sebagai amal saleh yang akan memberikan izin seorang Muslim masuk pintu surga? Yang pasti adalah membuka jalan ke pintu neraka! Abu Zaid bin Thabit bin Dhahak meriwayatkan bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:
‘Barangsiapa yang bersumpah palsu dan tidak mengatakan keadaan yang sebenarnya, sesungguhnya ia bukan dari pengikut Islam sebagaimana ia menganggap dirinya. Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sebuah alat maka ia akan disiksa dengan alat itu pada Hari Penghisaban. Seseorang tidak boleh bersumpah tentang sesuatu yang bukan haknya. Mengutuk seorang mukminin sama saja dengan membunuhnya.’ (Bukhari, Kitab Adab, bab Memanggil dengan nama buruk dan mengutuk)
Dengan demikian para pria dan wanita yang menyebut dirinya Muslim yang berencana membunuh dirinya atau mengajak orang lain untuk bunuh diri dengan menggunakan bom sehingga menyebabkan matinya orang-orang yang tidak berdosa, perhatikanlah ayat Al-Quran dan Hadith dari Penghulu kalian. Bukan derajat suhada yang akan kalian peroleh tetapi neraka jahanam.
Terorisme di abad modern ini sama sekali bertentangan dengan visi dan penafsiran tentang hakikat Jihad Islamiah. Perang politis tidak bisa disebut sebagai Jihad. Teriakan Jihad terdengar berulang-ulang dan dari berbagai penjuru. Namun apa sebenarnya makna Jihad yang dimaksud Allah s.w.t. dan Rasul-Nya? Apa yang menjadi Jihad di masa kini yang patut kita ikuti? Al-Quran mengemukakan Jihad lain yang disebut sebagai Jihad Akbar sebagai:
‘Janganlah mengikuti orang-orang kafir dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Quran ini dengan jihad yang besar.’ (S.25 Al-Furqan:52)
Jihad akbar dan hakiki menurut ayat ini adalah melaksanakan dan mengajarkan isi Al-Quran.Sekarang ini bukan lagi masanya menghunus pedang tetapi saatnya menggunakan hujjah. Apa yang dimaksud dengan hal ini dan bagaimana caranya kita harus masuk dalam medan laga agar manusia menyadari keindahan Islam dan ajarannya? Salah satu jawabannya adalah dengan memahami makna dari Jihad Fiallah atau Jihad Akbar yaitu Jihad terhadap nafsu dan kecenderungan buruk dalam diri kita, khususnya perjuangan kita melawan Syaitan. Inilah yang dimaksud dengan Jihad hakiki, Jihad individual guna memperbaiki diri menjadi saleh dan hamba Allah serta merobah Syaitan-syaitan dalam diri kita menjadi Muslim yang muttaqi agar kita bisa menarik orang lain ke dalam agama Islam. Al-Quran menyatakan:
‘Barangsiapa berjuang maka ia berjuang untuk dirinya pribadi, sesungguhnya Allah Maha Kaya, bebas dari sekalian mahluk-Nya.’ (S.29 Al-Ankabut:6)
Ayat ini menggambarkan apa yang dimaksud sesungguhnya dengan seorang Mujahid, yaitu orang yang berjuang di jalan Allah. Wawasan agung dan luhur yang dilaksanakan secara konsisten dan konstan dalam praktek aktual itulah yang dimaksud sebagai Jihad dalam terminologi Islam, sedangkan orang yang melaksanakan dan mengamalkannya disebut sebagai Muhajid. Kita ini harus menjadi teladan yang sempurna dari ajaran Islam dan untuk itu kita harus memahami ajaran Al-Quran serta sunah Rasul. Rasulullah s.a.w. menyatakan bahwa sebaik-baik pernyataan dari keimanan yang hakiki adalah orang lain selalu terpelihara dan hidup damai karena perlindungan kita. Islam disebut agama yang terbaik ialah jika semua orang aman dari kita dan kita tidak pernah mencederai mereka baik dengan tangan atau pun lidah (Bukhari, Kitabul Iman).
Hadith itu merupakan kesimpulan dan teladan sempurna untuk kehidupan kita di dalam masyarakat. Wajib bagi setiap Muslim bahwa perilakunya harus menjadi teladan dan tidak ada siapa pun yang akan dirugikan dengan cara apa pun. Hal ini menjadi bagian dari keimanan dan senyatanya menjadi dasar dalam hubungan kita dengan Allah s.w.t.. Sebagai seorang mukminin sejati, kita tahu bahwa tujuan utama dalam kehidupan ini adalah mendekati Allah s.w.t.. Hidup ini singkat sekali dan sebelum kita sadari, separuh usia sudah lewat dengan cepatnya. Kita mengetahui dari Al-Quran bahwa hubungan seperti itu bisa diciptakan, namun juga dinyatakan bahwa kita harus berjuang mencarinya. Jika kita perhatikan kehidupan duniawi, kita bisa melihat upaya perjuangan seperti apa yang harus dilakukan guna mencapai keberhasilan. Cara yang sama dengan berjuang di jalan Allah akan menuntun kita pada pertemuan dengan Wujud-Nya.
Semestinya kita menilik ke dalam batin sendiri dan melihat berapa banyaknya waktu dan upaya yang dikeluarkan bagi keruhanian setiap harinya. Apakah ada kita berupaya setengah atau bahkan seperempat dari tenaga dan waktu yang dikeluarkan untuk dunia? Apakah hati kita sesungguhnya mendambakan kasih Allah sebagaimana halnya mendambakan kemewahan dunia? Apakah ada kita menghabiskan waktu yang banyak untuk berdoa, membaca Al-Quran, membelanjakan harta dan waktu di jalan Allah? Apakah hati kita ada menangis melihat penderitaan saudara-saudara kita dan apakah ada kita berupaya datang kepada mereka dengan tulus hati menyampaikan pesan Ilahi? Adakah kita mematuhi sepenuhnya ketentuan dan peraturan dalam Kitabullah, karena sesungguhnya tidak ada petunjuk yang lebih baik daripadanya. Semua ketentuan dan peraturan tersebut adalah bagi kemaslahatan kita sendiri. Siapa yang mengetahui jalan Allah yang terbaik kecuali Allah sendiri? Kita semestinya mematuhi kaidah Ilahi guna memastikan bahwa kita terpelihara dari pengaruh jahat internal mau pun eksternal diri kita serta mencerahkan perjalanan ruhani. Semua itu memerlukan perubahan dalam kebiasaan dan gaya hidup yang selama ini dianut. Fikiran dan pandangan perlu diubah dan dimodifikasi. Upaya demikian adalah berat dan melelahkan tetapi semua perjuangan memang berat dan menyakitkan adanya.
Orang-orang yang hidup berdasarkan pedoman Tuhan dan selalu berjuang di jalan-Nya maka mereka menjadi teladan hidup dari hamba-hamba Allah. Mereka kelihatan menonjol dibanding lingkungannya. Ada perubahan sempurna dalam internal dan eksternal pribadi mereka sehingga orang-orang lain akan terpana dan menghormati mereka karena adanya nur Ilahi yang bersinar dari wajah mereka. Mereka itu senyatanya menjadi bukti hidup dari ayat Al-Quran bahwa:
‘Dan tentang orang-orang yang berjuang untuk bertemu dengan Kami, sesungguhnya Kami akan memberi petunjuk kepada mereka pada jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang berbuat kebajikan.’ (S.29 Al-Ankabut:70)
Kata Jihad itu mencakup keseluruhan aktivitas positif yang harus dilakukan seorang Muslim dan kita semua harus berlaku sebagai Mujahid yang secara istiqomah memperbaiki diri. Berjuang demi Allah membutuhkan tekad bulat dan keteguhan hati, dimana hal ini tidak mungkin bisa dicapai tanpa keimanan, pemahaman dan keyakinan yang hakiki kepada Wujud Maha Agung yang Maha Kuasa serta kepastian adanya kehidupan setelah kematian. Jika seorang Muslim meyakini bahwa keimanannya itu benar adanya, agama yang dianutnya itu juga benar maka ia tidak perlu takut kepada orang-orang yang berusaha menariknya keluar dari keimanan demikian. Sebaliknya, ia harus menerima mereka di rumahnya dengan senang hati dan melalui amal dan kata yang saleh, insya Allah, bisa menarik mereka ke dalam agamanya.
Pedih hati ini menyaksikan laku ketidakadilan yang ditimpakan bangsa-bangsa Barat terhadap umat dan negeri-negeri Muslim. Tetapi lebih menyedihkan lagi menyaksikan tindakan orang-orang yang menyebut dirinya Muslim yang mencanangkan Jihad terhadap siapa pun yang tidak sependapat dengan penafsiran mereka tentang ajaran Islam dimana mereka melakukan tindak kekejaman yang memalukan atas nama Islam. Bagaimana bisa mereka menarik minat orang lain kepada agama Islam?
Betapa menyedihkan dan memalukan bahwa seorang yang asing sama sekali dan tidak pernah merugikan kita dan sedang menjalankan perintah kedinasannya, lalu ditembak mati tanpa alasan sehingga isterinya menjadi janda, anak-anaknya menjadi yatim serta tempat tinggalnya menjadi rumah berkabung. Hadith mana dan ayat Al-Quran mana yang memerintahkan tindak laku yang keji seperti itu? Apakah ada seorang saja ulama yang bisa memberikan jawaban atas pertanyaan ini? Umat awam yang tidak berpengetahuan, begitu mendengar kata Jihad lalu menjadikannya sebagai pembenaran untuk memenuhi nafsu pribadi mereka sendiri.

(Mahkota Ruhani)

Wednesday, February 4, 2015

TANDA-TANDA ULAMA AKHIRAT

diantara tanda-tanda ulama akhirat itu, perpegangannya tentang
ilmunya berdasarkan kepada penglihatan bathin dan diketahuinya dengan
hati yang putih bersih. Tidak kepada lembaran buku dan kitab-kitab dan
tidak pula bertaqlid atas pendengaran dari orang lain. Yang ditaqlidkannya,
sesungguhnya pembawa syari'at suci Nabi Besar Muhammad ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ .
pada yang disuruhnya dan yang diucapkannya. Shahabat-shahabat ra. pun
ditaqlidkannya, dari segi bahwa perbuatan mereka menunjukkan kepada
pendengarannya dari Rasulullah ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ
Kemudian, apabila sudah bertaqlid kepada pembawa syari'at suci itu dengan
menerima segala perkataan dan perbuatannya, maka hendaklah berusaha
benar-benar memahami rahasia ajarannya.
Seorang yang bertaqlid (muqallid) berbuat suatu perbuatan karena Nabi ﺻﻠﻰ
ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ berbuatnya. Perbuatannya itu memang harus dan hendaklah
karena suatu rahasia padanya.
Maka seyogialah bahwa dia membahas benar-benar tentang rahasia segala
perbuatan dan perkataan Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ . Karena kalau dicukupkan saja
dengan menghafal apa yang dikatakan, maka jadilah dia karung ilmu dan
bukanlah seorang yang berilmu.
Karena itulah ada orang mengatakan : si Anu itu karung ilmu. Maka tidaklah
dinamakan orang itu berilmu apabila keadaannya hanya menghafal saja,
tanpa memperhatikan hikmah dan rahasia yang terkandung di dalamnya.
Orang yang tersingkap dari hatinya tutup dan memperoleh nur hidayah,
maka jadilah dia seorang yang diikuti dan ditaqlidkan. Maka tidak seyogialah
dia bertaqlid kepada orang lain.
Karena itulah berkata Ibnu Abbas ra. :
"Tiada seorangpun, melainkan diambil dari ilmunya dan ditinggalkan selain
Rasulullah ﻯ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ...… (
Ibnu Abbas itu mempelajari fiqih pada Zaid bin Stabit dan membaca Al-
Qur'an pada Ubai bin Ka'ab. Kemudian dia berselisih dengan Zaid dan Ubai
tentang fiqih dan tentang pembacaan Al-Qur'an. Berkata setengah ulama
salaf : "Apa yang datang kepada kami dari Rasulullah ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ . kami
terima di atas kepala dan penuh perhatian dari kami. Dan apa yang datang
kepada kami dari para shahabat ra. ada yang kami ambil dan ada yang kami
tinggalkan. Dan apa yang datang dari para tabi'in, maka mereka itu laki-laki
dan kamipun laki-laki".
Dianggap lebih para shahabat itu, karena mereka melihat dengan mata
sendiri hal-ikhwal Rasulullah ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ . Dan hati mereka terikat kepada
hal-ikhwal itu yang diketahui dengan qarinah (tanda-tanda). Lalu membawa
mereka kepada yang benar, dari segi tidak masuk dalam riwayat dan ibarat.
Karena telah melimpahlah nur kenabian kepada mereka, yang menjaga dari
kesalahan dalam banyak hal.
Apabila berpegang kepada yang didengar dari orang lain itu taqlid yang
tidak disukai, maka berpegang kepada kitab-kitab dan karang-an-karangan
adalah lebih jauh lagi. Bahkan kitab-kitab dan karang-an-karangan itu
adalah barang baru yang dibuat.
Sedikitpun tak ada daripadanya pada masa shahabat dan tabi'in yang
terkemuka. Tetapi datangnya adalah sesudah seratus dua puluh tahun dari
Hijrah Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ . dan sesudah wafat seluruh shahabat dan
sebahagian besar dari tabi'in dan sesudah wafat Sa'id bin Al-Musayyab, Al-
Hasan dan para tabi'in yang pilihan. Bahkan ulama-ulama yang mula-mula
dahulu,tidak menyukai kitab-kitab hadits dan penyusunan kitab-kitab.
Supaya tidaklah manusia itu sibuk dengan buku-buku itu, dari hafalan,dari
Al-Qur'an, dari pemahaman dan dari peringatan. Mereka itu mengatakan :
"Hafallah sebagaimana kami menghafal!".
Karena itulah, Abu Bakar dan segolongan shahabat Nabi saw. tidak
menyetujui penulisan Al-Qur'an (mengkodifikasikan), dalam suatu mashaf.
Mereka berkata : "Bagaimana kita membuat sesuatu yang tidak diperbuat
Nabi ﺻﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ?".
Mereka itu takut nanti manusia itu berpegang saja pada mashaf-mashaf
dengan mengatakan : "Kita biarkan Al-Quran, yang diterima oleh mereka
dari tangan ke tangan, dengan dipelajari dan dibacakan, supaya menjadi
pekerjaan dan cita-cita mereka". Sehingga Umar ra. dan lain-lain shahabat
menunjukkan supaya Al-Qur'an itu ditulis, karena takut disiasiakan orang
nanti dan malasnya mereka. Dan menjaga agar tidak menimbulkan
pertikaian di belakang hari. Karena tidak diperoleh yang asli yang menjadi
tempat pemeriksaan dari kekeliruan, baik kalimatnya atau bacaan-nya.
Mendengar alasan-alasan tadi, maka terbukalah hati Khalifah Abu Bakar.
Maka dikumpulkanlah Al-Qur'an itu dalam suatu mashaf.
Imam Ahmad bin Hanbal menentang Imam Malik karena dikarang-nya kitab
Al-Muath-tha\ Ahmad berkata : "Tuan ada-adakan yang tidak dikerjakan
para shahabat ras".
Kata orang, kitab yang pertama dikarang dalam Islam ialah Kitab Ibnu Juraij
tentang atsar m dan huruf-huruf tafsir dariMujahid, At ha' dan teman-
teman Ibnu Abbas ra. di Makkah.
Kemudian muncul kitab Ma'mar bin Rasyid Ash-Shan'ani di Ya-man.
Dikumpulkan di dalamnya sunnah yang dipusakai dari Nabi saw.
Kemudian lahir Kitab Al-Muattha' di Madinah karangan Imam Malik bin
Anas. Kemudian Kitab Jami' karangan Sufyan Ats-Tsuri.
Kemudian pada abad keempat hijriyah, muncullah karangan-karangan
tentang ilmu kalam. Lalu ram ail ah orang berkecimpung dalam
pertengkaran dan tenggelam di dalam membatalkan kata-kata.
Kemudian tertariklah hati manusia kepada ilmu kalam, kepada kisah-kisah
dan memberi pengajaran dengan mengambil bahan dari kisah-kisah tadi.
Maka sejak masa itulah merosot ilmu yakin (ilmul-yaqin). Sesudah itu, lalu
dipandang ganjil ilmu hati, pemerik-saan sifat-sifat jiwa dan tipu daya
setan.
Orang tidak memperhatikan lagi kepada ilmu-ilmu tadi selain sedi-kit-
sekali. Lalu orang-orang yang suka bertengkar dalam ilmu kalam, dinamai
'alim. Tukang ceritera yang menghiasi kata-katanya dengan susunan yang
berirama, dinamai 'alim.
Ini disebabkan karena orang awwamlah yang mendengar syarahan dan
ceritera orang-orang tadi. Lalu tidak dapat membedakan antara ilmu yang
sebenarnya dan ilmu yang tidak sebenarnya. Perjalanan shahabat dan ilmu
pengetahuan shahabat-shahabat ra. itu tidak terang pada orang awwam.
Sehingga mereka dapat mengenai perbedaan antara para shahabat itu dan
orang-orang yang disebut 'alim.
Maka terus-meneruslah nama ulama melekat pada orang-orang itu dan
dipusakai dari salaf kepada khalaf (ulama-ulama pada masa terakhir). Dan
jadilah ilmu akhirat itu terpendam dan lenyaplah perbedaan antara ilmu dan
bicara, selain pada orang-orang tertentu.
Orang-orang yang tertentu itu (al-khawwash) apabila ditanyakan : "Si
Anukah yang lebih berilmu ataukah si Anu?", lalu menjawab : "Si Anu lebih
banyak ilmunya dan si Anu lebih banyak bicaranya".
Jadi, orang-orang al-khawwash mengetahui perbedaan antara ilmu dan
kemampuan berbicara.
Begitulah, maka agama itu menjadi lemah pada abad-abad yang lampau.
Maka bagaimana pula persangkaan anda dengan zaman anda sekarang?.
Sudah sampailah sekarang, bahwa orang yang suka mengecam perbuatan
munkar, dituduh gila. Jadi yang baik sekarang, ialah orang bekerja untuk
dirinya sendiri dan diam.

BY
Ruhul Mustofa Alhusaini

Tuesday, January 6, 2015

PENGHIANATAN SYI'AH DIBALIK RUNTUHNYA KEKHILAFAHAN ISLAM

Pengkhiatan Syiah di balik runtuhnya
kekhilafahan Islam

Baghdad baru saja ditaklukkan oleh pasukan Tartar. Pusat pemerintahan
Dinasti Abbasiyah dan situs-situs peradaban Islam diluluhlantakkan.
Pasukan yang dipimpin oleh Hulagu Khan dari ras Mongolia itu berhasil
menaklukkan salah satu kota yang menjadi simbol gemilangnya peradaban
Islam pada 656 Hijriyah. Sejarah menceritakan, sungai di Baghdad yang
jernih berubah pekat menghitam akibat ribuan, bahkan jutaan buku yang
ditenggelamkan. Sebagian lagi terbakar oleh keganasan invasi pasukan kafir
tersebut. Takluknya Baghdad menandai runtuhnya imperium Khilafah
Abbasiyah yang dikenal sebagai salah satu pusat peradan Islam.
Mengenai keruntuhan Baghdad dan penyerangan pasukan Tartar, sejarawan
Dr. Raghib As-Sirjani menceritakan kisah ini dalam bukunya “Qishah At-
Tatar min Al-Bidayah ila ‘Ain Jalut” (hlm. 129-170). Sedangkan sejarawan
lainnya, Dr. Muhammad Ali Ash-Shalabi menceritakan dengan apik dalam
bukunya “Al-Moghul Baina Al-Intisyar wa Al-Inkisyar” (hlm.310-312). Kedua
sejarawan tersebut sangat mumpuni dalam bidangnya, karena disamping
sebagai sejarawan (mu’arrikh ), mereka juga ahli hadits ( muhaddits ), yang
bisa memilah mana kisah-kisah palsu dan mana yang mu’tabar.
Kejatuhan Daulah Abbasiyah ke tangan pasukan Tartar tak lepas dari
pengkhianatan tokoh Syiah Rafidhah bernama Alauddin Ibnu Alqami. Dalam
keterangan lain, kejatuhan Baghdad karena adanya konspirasi antara
pasukan Tartar dan kelompok Syiah Qaramithah yang mempunyai hasrat
menjatuhkan pemerintahan Daulah Abbasiyah, kemudian menggantikannya
dengan Daulah Fathimiyah.
Ia diangkat sebagai perdana menteri oleh Khalifah Al-Mu’tashim Billah.
Namun Ibnu Alqani memendam hasrat untuk merampas kekhilafahan
Abbasiyah agar jatuh ke tangan Dinasti Fathimiyah. Ibnu Alqani
berkorespondensi dengan pimpinan bangsa Tartar dan mendukung pasukan
kafir tersebut masuk dan menyerang kota Baghdad. Ibnu Katsir
menceritakan, “Ibnu Alqani menulis surat kepada pasukan Tartar yang
intinya mendukung mereka menguasai Baghdad dan siap melicinkan jalan
bagi mereka (Tartar). Ia membeberkan kepada mereka kondisi terakhir
Khilafah Abbasiyah, termasuk kelemahan pasukan Al-Mu’tashim. Itu semua
tiada lain karena pada tahun tersebut ia ingin melihat Khalifah Abbasiyah,
Al-Mu’tashim, tumbang, dan bid’ah aliran sesat Syiah Rafidhah berkembang
pesat. Khalifah diambil oleh Dinasti Fathimiyah, para ulama dan mufti
sunnah musnah.” (Lihat: Al-Bidayah wa An-Nihayah , XIII/202)
Baghdad berhasil takluk. Khalifah Al-Mu’tashim Billah wafat terbunuh pada
14 Shafar 656 H/1258 M. Pembunuhan Al-Mu’tashim tak lepas dari
pengkhianatan Ibnu Alqani dan Nashiruddin Ath-Thusi, yang menjalin
hubungan dengan Hulagu Khan. Pengkhianatan itu mengakibatkan
banyaknya ulama yang terbunuh, sekolah-sekolah dan masjid yang hancur,
perpustakaan sebagai gudang ilmu luluhlantak, dan kekejaman lainnya yang
luar biasa. Baghdad yang indah dan megah bersimbah darah. Kaum
muslimin ketika itu berduka. Pusat peradaban Islam yang gemilang, tinggal
kenangan.
Setelah berhasil menaklukkan Baghdad, pada 22 Shafar 657 Hijriyah
pasukan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu Khan kemudian bergerak menuju
Syam, wilayah yang menjadi pusat kekuasaan Islam pada masa itu. Mereka
melakukan invasi dengan menyeberangi sungai Furat dan mengepung pintu
masuk Syam selama tujuh hari. Pengepungan berhasil, bangsa Tartar
kemudian masuk menyerbu kota. Sejarawan Ali Muhammad Ash-Shalabi
mengatakan, Aleppo (halb) adalah kota pertama yang menjadi tujuan
penaklukan Hulagu dan pasukannya, yang ketika itu dipimpin oleh Al-Malik
Al-Mu’zham Tauran Syah, wakil dari Malik An-Nashir. Sebelum memasuki
Aleppo, sebagaimana kebiasaan Hulagu, ia memberi peringatan penguasa
agar tunduk dan menyerah. Namun, peringatan Hulagu Khan ditanggapi
oleh Al-Malik Al-Mu’zham Tauran Syah dengan mengatakan, “Tidak ada
yang pantas bagi kalian dari kami, kecuali pedang…!”
Hulagu Khan kemudian mengirim panglimanya yang bernama Katabgha
untuk menaklukkan kota Damaskus pada akhir bulan Rajab, tahun 658
Hijriyah. Penaklukan berlangsung tanpa perlawanan, hingga akhirnya
Damaskus yang merupakan kota terbesar di Suriah selain Aleppo, berhasil
tunduk pada kekuasaan Tartar.
Negeri Syam yang dikenal sebagai tanah yang berkah, saat itu terkotori
dengan ulah pasukan Tartar. Kemenangan pasukan Tartar kemudian
dimanfaatkan oleh orang-orang Nashrani untuk mendekati Hulagu Khan.
Mereka membujuknya agar Hulagu membiarkan umat Nashrani menyiarkan
agamanya. Setelah mendapat persetujuan, umat Nashrani berkeliling kota
mengangkat salib-salib mereka di atas kepala, sambil berteriak
mengatakan, “Agama yang benar adalah agama Al-Masih..”. Mereka
mengarak salib-salib besar mereka keliling kota, kemudian memaksa para
penduduk untuk berdiri menghormati salib tersebut. Tartar ketika itu
mengangkat seorang pemimpin di Damaskus yang bernama Ibil Siyan,
pemimpin yang dikenal sangat melindungi kaum Nashrani.
Kota Damaskus dan Aleppo berhasil ditaklukkan. Kota yang bersejarah dan
menyimpan peradaban Islam itu harus menyerah pada kekuatan pasukan
Tartar. Jika Baghdad berhasil ditaklukkan oleh bangsa Tartar karena
pengkhianatan Syiah Rafidhah, maka diantara faktor yang melemahkan
semangat jihad umat Islam di negeri Syam saat itu adalah pengkhianatan
kelompok Syiah Nushairiyah. Melalui para pemimpinnya, mereka berusaha
merapat pada Hulagu Khan, dengan iming-iming yang ditawarkan pada
pimpinan pasukan Tartar itu berupa harta milik kaum Muslimin yang berhasil
dilumpuhkan. Diantara pemimpin Syiah yang berkhianat terhadap umat
Islam adalah Syaikh Al-Fahr Muhammad bin Yusuf bin Muhammad Al-Kanji.
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menceritakan hal ini dalam buku
monumentalnya, Al-Bidayah wa An-Nihayah , dengan menulis, “Ia adalah
tokoh Syiah yang telah membujuk bangsa Tartar dengan harta kaum
Muslimin. Ia sosok berhati busuk, orientalistik, dan meminta bantuan
mereka (Tartar) dengan harta kaum muslimin…”
Dr. Imad Ali Abdus Sami Husain dalam bukunya “Khianaat Asy-Syiah wa
Atsaruha fi Hazaimi Al-Ummah Al-Islamiyah” menceritakan bahwa ketika
pasukan Tartar masuk ke kota Aleppo pada 658 Hijriyah, merampas dan
mencuri harta dan tanah kaum muslimin di kota itu, pimpinan Syiah yang
bernama Zainuddin Al-Hafizhi justru mengagung-agungkan Hulagu Khan
dan meminta kepada umat Islam untuk tunduk menyerah dan tidak
mengobarkan api perlawanan terhadap pasukan penjajah tersebut
Padahal Ketika itu, Raja An-Nashir yang berasal dari kalangan sunni sudah
berkirim surat kepada Raja Al-Mughits di Kurk dan Al-Muzhaffar Qutuz di
Mesir untuk mengirimkan bala bantuan kepada kaum muslimin di Aleppo.
Namun sayang, kondisi mereka yang ketika itu juga dalam keadaan lemah,
tidak mampu memenuhi permintaan Raja An-Nashir.
Sikap pemimpin Syiah Nushairiyah, Zainuddin Al-Hafizhi, memantik
kemarahan Malik Az-Zhahir Ruknuddin Baybars Al-Bunduqdari. Ia begitu
marah kepada pemimpin Syiah itu, kemudian memukulnya sambil
mengatakan, “Kalianlah penyebab kehancuran kaum Muslimin!” Baybars
adalah tokoh pejuang Muslim asal Kazakhstan yang kemudian berjihad
melawan bangsa Tartar dan kaum Kristen, dan wafat di Damaskus. Namanya
begitu dikenal sebagai pahlawan Islam yang cukup ditakuti dan disegani
musuh. ( Mausu’ah At-Tarikh Al-Islamiy: Al-Ashr Al-Muluki, Amman: Dar
Usamah li An-Nasyr, 2003, hlm. 24-36)
Seorang ulama bernama Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdul
Salam bin Taimiyah Al-Harrani atau biasa disebut Syaikh Ibnu Taimiyah,
yang berjuluk hujjatul Islam , termasuk orang yang berjuang melawan
pasukan Tartar. Ia juga mengetahui bagaimana kelompok Syiah Nushairiyah
berkhianat terhadap kaum muslimin. Karenanya, Ibnu Taimiyah yang tahu
persis bagaimana sepak terjang kelompok Syiah ekstrem ini, menyatakan
bahwa mereka adalah kaum kafir dan non muslim yang harus diperangi.
Ketika orang-orang Tartar mengepung kota Damaskus, Ibnu Taimiyah
dengan lantang mengatakan,”Jangan kalian serahkan benteng ini, meskipun
tinggal satu batu bata saja, karena benteng ini adalah untuk kepentingan
kaum muslimin. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menjaga benteng
ini untuk kaum muslimin, sebagai perisai bagi penduduk Syam yang menjadi
pusat iman dan sunnah, sampai Isa Ibnu Maryam Alaihissalam turun di
sana.”
Dalam buku Tarikh Al-Alawiyyin yang ditulis penganut Syiah Nushairiyah,
Muhammad Amin Ghalib Ath-Thawil dijelaskan bahwa sikap kooperatif
mereka dengan bangsa Tartar adalah bagian dari siasat untuk
mengembalikan kekuasaan mereka, yang menurutnya telah dirampas oleh
kaum Sunni.
Tarikh Al-Alawiyyin juga menjelaskan bagaimana kerjasama tokoh Syiah di
Aleppo, Thamur Thusi, yang bekerjasama dengan Timur Lenk untuk
menguasai kota tersebut. Timur Lenk membunuh kaum muslimin sunni dan
membiarkan mereka yang menjadi pengikut Alawiyah. Timur Lenk adalah
penganut Syiah Rafidhah yang wafat pada 808 Hijriyah. Anak keturunannya
pun mengikuti jejak keyakinan Timur Lenk sebagai penganut ajaran Syiah.
Karenanya, di setiap wilayah kekuasannya, Syiah banyak terlibat dalam
pemerintahan, termasuk di negeri Persia (Iran). (Lihat: Tarikh Alawiyyin,
hlm. 407)
Negeri Syam, termasuk wilayah Damaskus, berhasil kembali ke tangan kaum
muslimin, setelah pasukan Syaifuddin Quthuz dan panglima Malik Azh-
Zhahir Ruknuddin Baibars Al-Bunduqdari berhasil mengalahkan pasukan
Tartar dalam Perang Ain Jalut, sebuah wilayah di Palestina. Perang yang
berlangsung pada 25 Ramadhan 659 H/September 1260 M itu berhasil
memukul mundul pasukan Tartar dan membuat mereka lari tunggang
langgang menyebar ke beberapa wilayah. Pasukan yang dipimpin oleh
Syaifuddin Quthuz dan panglima Baibars, berhasil membunuh seorang
pemimpin dari sekte Syiah Rafidhah di Damaskus, karena keberpihakan
tokoh tersebut kepada pasukan Tartar dalam merampas dan menjarah harta
kaum muslimin. Dengan kemenangan di Perang Ain Jalut ini, Syaifuddin
Quthuz yang berasal dari Kerajaan Mamalik Bahriyah (kerajaan wilayah
maritim yang dibangun oleh para budak) kemudian menggabungkan negeri
Syam dengan Mesir, sehingga kekuasaannya semakin luas.
Ada yang menarik dalam buku “Al-Maushu’ah Al-Muyassarah fi At-Tarikh
Al-Islamiy” . Tim Riset dan Studi Islam sebagai penyusun buku itu, membuat
sub bab berjudul “Baybars dan Sekte Bathiniyah”. Buku yang diberi kata
pengantar oleh ahli sejarah dari Mesir, Dr. Raghib As-Sirjani ini menulis,
“Baibars berhasil menundukkan Sekte Bathiniyah, cabang dari Sekte
Ismailiyah di Syam. Orang-orang Eropa menyebut sekte ini Al-Hasyasyin.
Sebelumnya mereka adalah ancaman bagi raja-raja Mesir, sejak masa
pemerintahan Shalahuddin Al-Ayyubi.” (Tim Riset dan Studi Islam Mesir,
Ensiklopedi Sejarah Islam Jilid I (terj), Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2013,
hlm.478)
Dari keterangan di atas, jelaslah bahwa pada masa lalu, Syiah Rafidhah, baik
itu Sekte Ismailiyah, Nushairiyah, Qaramithah, dan Syiah ekstrem lainnya
telah melakukan pengkhianatan terhadap umat Islam di Syam. Sejarah juga
mencatat, mereka kemudian diperangi oleh para pemimpin Islam. Sultan
Shalahuddin Al-Ayyubi yang dikenal sebagai penakluk Baitul Maqdis, semasa
berkuasa terus berusaha mengikis habis pengaruh Syiah Rafidhah, baik
pengaruh dari buku-buku, maupun pengaruh dari para pemimpin mereka.
Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi berusaha memerangi kelompok Syiah
Rafidhah yang bercokol di Mesir, Yaman, dan Syam. (Lihat: Dr. Ali
Muhamamd Ash-Shallabi, Shalahuddin Al-Ayyubi wa juhduhu fi Al-Qadha
Ad-Daulah Al-Fathimiyah wa Tahrir Bait Al-Muqaddas, Mesir: Daar Ibnu Al-
Jauzi, 2007, hlm. 257-258
Pengkhianatan Selanjutnya
Ketika Daulah Utsmaniyah berusaha menguasai Syam dan merebutnya dari
penjajahan bangsa Eropa; Perancis dan Inggris, pengkhianatan kelompok
Syiah Nushairiyah juga terus berlangsung. Jumlah mereka yang minoritas,
selalu menyimpan ketakutan akan sikap diskriminasi kelompok Sunni yang
menjadi warga mayoritas di Syam. Karenanya, Tokoh Syiah Nushairiyah
Shaleh Al-Alawi bahkan menjalin hubungan dan menandatangani nota
kesepahaman dengan tokoh sekular Yahudi Dunamah Turki, Mustafa Kamal
Attaturk pada tahun 1920. Nota kesepahamaman ini tentu saja bertujuan
membendung pengaruh imperium Utsmani di Syam, khususnya di wilayah
Suriah yang juga menjadi musuh kaum sekularis seperti Attaturk.
Karenanya, Attaturk dengan organisasinya Ittihad wa At-Taraqi (Partai
Persatuan dan Kemajuan) berhasil menumbangkan Khilafah Utsmaniyah
pada 1924.
Kelompok Syiah Nushairiyah tentu mempunyai kepentingan untuk
menyelamatkan entitasnya jika Daulah Utsmaniyah tetap bercokol di Syam.
Mereka khawatir, Daulah Utsmaniyah yang Sunni akan memposisikan
mereka secara diskriminatif. Kekhawaturan inilah yang kemudian terus
terpelihara sehingga mereka merasa perlu melakukan berbagai
pengkhianatan terhadap umat Islam dengan berkolaborasi pada musuh-
musuhnya. Padahal sesungguhnya sikap khianat mereka adalah ambisi
untuk merebut kekuasaan sehingga terbentuk rezim Syiah. Belakangan
terbukti, rezim Syiah Nushairiyah yang minoritas, justru melakukan berbagai
aksi diskriminasi dan kekejaman terhadap kaum muslimin di Suriah.
Sebuah dokumen luar negeri Perancis, Nomor 3547 tertanggal 15 Juni 1936
melansir adanya surat dari tokoh-tokoh Alawiyah/Nushairiyah kepada
pemerintah Perancis, yang diantaranya ditandatangani oleh Sulaiman Al-
Asad, kakek dari Hafizh Asad. Surat tersebut berisi permohonan agar
Perancis tetap bersedia berada di wilayah Suriah, karena mereka khawatir,
jika Perancis hengkang, keberadaan mereka terancam. Surat tersebut
berbunyi:
“Presiden Perancis yang terhormat,
Sesungguhnya bangsa Alawiyah yang mempertahankan
kemerdekaannya dari tahun ke tahun dengan penuh semangat dan
pengorbanan banyak nyawa. Mereka adalah masyarakat yang
berbeda dengan masyarakat Muslim (Sunni), dalam hal keyakinan
beragama, adat istiadat, dan sejarahnya. Mereka tidak pernah
tunduk pada penguasa dalam negeri.
Sekarang kami lihat bagaimana penduduk Damaskus memaksa
warga Yahudi yang tinggal bersama mereka untuk tidak mengirim
bahan pangan kepada saudara-saudara mereka kaum Yahudi yang
tertimpa bencana di Palestina! Kaum Yahudi yang baik, yang
datang ke negeri Arab yang Muslim dengan membawa peradaban
dan perdamaian, serta menebarkan emas dan kesejahteraan di
negeri Palestina, tanpa menyakiti seorang pun, tak pernah
mengambil sesuatupun dengan paksa. Namun demikian, kaum
muslimin menyerukan “Perang Suci” untuk melawan mereka,
meskipun ada Inggris di Palestina dan Perancis di Suriah.
Kita menghargai kemuliaan bangsa yang membawa kalian
membela rakyat Suriah dan keinginannya untuk merealisasikan
kemerdekaannya. Akan tetapi Suriah masih jauh dari tujuan yang
mulia. Ia masih tunduk pada ruh feodalisme agama terhadap kaum
muslimin.
Kami sebagai rakyat Alawiyah yang diwakili oleh orang-orang
yang bertandatangan di surat ini berharap, pemerintah Perancis
bisa menjamin kebebasan dan kemerdekaannya, dan menyerahkan
nasib dan masa depannya kepadanya (Alawiyah, pen). Kami yakin
bahwa harapan kami pasti mendapaykan dukungan yang kuat dari
mereka untuk rakyat Alawiyah, teman yang telah memberikan
pelayanan besar untuk Perancis.”
Demikian surat yang ditulis oleh tokoh-tokoh Syiah Nushairiyah, yang
membujuk Perancis untuk tetap menjamin dan mendukung keberadaan
mereka. Surat tersebut ditandatangani oleh Sulaiman Asad (kakek Hafizh
Asad), Muhammad Sulaiman Ahmad, Mahmud Agha Hadid, Aziz Agha
Hawwasy, Sulaiman Mursyid, dan Muhammad Beik Junaid. (Lihat:Syaikh
Abu Mus’ab As-Suri, Rezim Nushairiyah: Sejarah, Aqidah dan Kekejaman
Terhadap Ahlu Sunnah di Syiria (terj), Solo: Jazeera, 2013, hlm. 65-66)
Pada saat ini, keberadaan rezim Syiah Nushairiyah di Suriah mendapat
dukungan yang kuat dari kelompok Syiah Itsna Asyariyah atau Syiah
Imamiyah di Libanon dan Iran. Mereka mempunyai kesamaan ajaran,
ideologi, bahkan cita-cita, untuk mewujudkan dendam mereka merebut
kekuasaan dari kelompok Sunni. Mereka yang hidup minoritas di Suriah,
kemudian berkolaborasi dengan bantuan Syiah di Libanon, melalui kelompok
militer Hizbullah yang dipimpin oleh Hasan Nashrullah, untuk bertahan dan
survive, serta mengamankan kekuasaan mereka yang direpresentasikan
dalam kekuasaan Rezim Bashar Al-Asad. Dimanapun, kelompok minoritas
akan selalu waspada, struggle , dan berjuang habis-habisan untuk
mengamankan eksistensinya. Bahkan, dalam kasus Suriah saat ini, mereka
berusaha mengamankan kekuasaan yang sudah sejak tahun 70-an mereka
pegang. Mereka khawatir, jika umat Islam berkuasa, maka keberadaan
mereka akan terusik. Padahal, mereka sesungguhnya adalah pengkhianat
yang tak bisa hidup berdampingan dengan kaum muslimin, selama akidah
mereka melecehkan para sahabat, dan mengganggap Ali bin Abi Thalib
Radhiyallahu Anhu sebagai tuhan atau menyatu dengan Tuhan.
Untuk mempertahankan keberadaanya, Syiah Nushairiyah sampai hari ini tak
segan-segan untuk berkhianat, bahkan berkolaborasi dengan musuh-musuh
Islam sekalipun. Sebagai kelompok minoritas di Suriah, mereka menerapkan
prinsip, “Sebaik-baik pertahanan adalah menyerang!”

BY
Ruhul Mustofa Alhusaini