A. PENDAHULUAN
Al-Qur’an adalah kitabullah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW sabagai petunjuk untuk segenap umat manusia. Melalui kitab
suci inilah, Allah SWT menyempurnakan ajaran Islam sebagai Agama yang diridhai di
sisi-Nya. Al-Quran memuat petunjuk dalam segenap aspek kehidupan manusia.
Sisi-sisi ayat Al-Quran tidak hanya
terkait masalah ukhrawi tetapi juga banyak menyinggung mengenai problematika
kehidupan khusunya pada diri manusia sendiri. Banyak ayat Al-Quran yang megisyaratkan
peningkatan taraf manusia untuk mancapai Insan Kamil.
Menurut Abu A’la Maududi dalam karya besarnya “The
Meaning of the Quran” bahwa pokok pembicaraan Al-Quran adalah manusia.
Karangan yang lain “The Basic Principles of Understanding Al-Quran”,
sebuah karya Ulama dan pemikir Islam Pakistan menyatakan juga bahwa tema
sentral pembicaraan Al-Quran adalah manusia sendiri.[1]
Keterangan ini menunjukkan ayat-ayat Al-Quran lebih banyak menyinggung manusia
mengingat peran penting mereka sebagai khalifah dimuka bumi.
Pemahaman tentang manusia merupakan bagian dari
kajian filsafat. Usaha dan upaya dalam berbagai kajian ini telah telah banyak dicurahkan
untuk membahas tentang manusia. Walaupun
demikian, hakikat dari manusia masih menjadi
misteri yang belum terselesaikan. Kita
hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu pada diri manusia. Menurut
Quraish Shihab, keterbatasan pengetahuan
manusia tentang dirinya itu disebabkan oleh beberapa hal
berikut:[2]
1) Pembahasan
tentang masalah manusia terlambat dilakukan karena pada mulanya perhatian
manusia hanya tertuju pada alam materi,
2) Ciri
khas akal manusia lebih cenderung memikirkan hal-hal yang tidak kompleks, dan
3) Kehidupan
manusia dihadapkan dengan masalah yang multikompleks.
Menurut Husein Aqil Munawwar, selain faktor diatas
ialah keterbatasan pengetahuan para ilmuan untuk menjangkau segala aspek yang
terdapat dalam diri manusia. Lebih lanjut mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk
Allah yang istimewa memang memiliki latar belakang kehidupan yang penuh
rahasia.[3]
Terkait hal ini, Agamawan berkomentar bahwa demikian itu disebabkan manusia
adalah satu-satunya makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat ruh Ilahi.
Walaupun demikian, usaha untuk mempelajari diri kita
sendiri tidak berhenti begitu saja. Banyak sumber yang mendukung untuk
mempelajari manusia. Diantara sumber yang paling tinggi adalah Kitab Suci
Al-Qur’an. Oleh karena itu, penulis melalui Makalah ini menguraikan secara sederhana
mengenai Wawasan Al-Quran tentang Manusia yang kami sajikan dari
beberapa sumber.
B. ISTILAH MANUSIA DALAM AL-QURAN
Menurut Quraish Shihab, Ada
tiga kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia, yaitu:[4]
1) Menggunakan
kata yang terdiri dari huruf alif (أ),
nun (ن), dan sin (س)
semacam insan (إنسان), ins (إنس), nas (ناس),
atau unas (أناس),
2) Menggunakan
kata basyar (بشر),
dan
3) Menggunakan
kata Bani Adam (بني آدم)
dan zuriyat Adam (ذرّيّة آدم).
Secara rinci, uraian dari masing-masing istilah diatas dapat dilihat
sebagai berikut:
a)
Konsep
Insan (إنسان)
kata insan (إنسان) terambil dari kata uns yang berarti
jinak, harmonis, dan tampak. Ada
pula yang mengaitkan
kata insan dengan
nasiya yang berarti
lupa. Misalnya Ibnu Abbas yang
mengungkapkan bahwa manusia itu disebut insan karena ia sering lupa kepada
janjinya. Namun dari sudut pandang Al-Quran, pendapat yang mengatakan Insan
terambil dari kata Uns yang berarti jinak, harmonis, dan tampak adalah lebih
tepat dari yang berpendapat bahwa ia terambil dari kata Nasiya (lupa)
dan Nasa-Yanusu (berguncang).[5]
Dalam Al-Qur’an,
kata insan disebut sebanyak 61 kali. Kata insan di dalam kebanyakan konteks
pembicaraanya dalam Al-Quran lebih mengarah kepada arti manusia dengan sifat
psikologisnya.[6]
Makna
ini dapat dilihat dalam ayat berikut:
وَجَعَلُوا لَهُ مِنْ عِبَادِهِ جُزْءًا إِنَّ الْإِنْسَانَ
لَكَفُورٌ مُبِينٌ ﴿الزخرف : ۱٥﴾
Artinya:
“Dan mereka
menjadikan sebahagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bahagian daripada-Nya .
Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata (terhadap rahmat
Allah). (QS. Az-Zukhruf : 15)
فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ
فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ ﴿الفجر : ۱٥﴾
Artinya:
“Adapun manusia
apabila Tuhannya mengujinya lalu dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka
dia berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. (QS. al-Fajr : 15)
Menurut Quraish Shihab, kata insan digunakan Al-Qur’an
untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Bahkan Bintusy Syathi’ menegaskan
bahwa makna kata insan inilah yang membawa manusia sampai pada derajat yang
membuatnya pantas menjadi khalifah di muka bumi, menerima beban dan amanat
kekuasaan.[7]
Potensi manusia
menurut konsep al-Insan diarahkan pada upaya mendorong manusia untuk berkreasi
dan berinovasi.[8] Jelas
sekali bahwa dari kreativitasnya, manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan
berupa ilmu pengetahuan, kesenian, ataupun benda-benda ciptaan. Kemudian melalui kemampuan berinovasi, manusia mampu merekayasa
temuan-temuan baru dalam berbagai bidang. Dengan demikian manusia dapat
menjadikan dirinya makhluk yang berbudaya dan berperadaban.
b)
Konsep
Ins (إنس)
Kata ins (إنس) merupakan salah satu turunan dari kata
anasa (أنس). Kata ini juga sering pula diperhadapkan
dengan kata al-jinn (الجن). Misalnya dalam beberapa ayat berikut:
قُلْ لَئِنِ اجْتَمَعَتِ الْإِنْسُ وَالْجِنُّ عَلَى أَنْ يَأْتُوا بِمِثْلِ هَذَا الْقُرْآنِ لَا يَأْتُونَ
بِمِثْلِهِ وَلَوْ كَانَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ ظَهِيرًا ﴿ الإسراء : ۸۸﴾
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الْإِنْسِ وَالْجِنِّ
يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا ﴿الأنعام
: ۱۱۲﴾
وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ الْإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ
رَهَقًا ﴿ الجن : ٦﴾
Kedua jenis kata
ini (الإنس والجن) tentu sangat bertolak
belakang bahwa yang yang pertama bersifat nyata (kasat mata), sedangkan yang
kedua bersifat tersembunyi. Ada sebanyak 17 kali Allah menyebutkan kata al-ins
yang disandingkan dengan al-jinn atau jan. Dalam pemakaiannya,
kata ins dalam Al-Quran mengarah kepada jenis dan menunjukkan manusia sebagai
nomina kolektif. Secara keseluruhan, penyebutan al-Ins dalam Al-Quran
sebanyak 22 kali.[9] Pendapat
lain menyebutkan, sisi kemanusiaan pada manusia yang disebut dalam al-Qur’an dengan kata al-Ins dalam arti
“tidak liar” atau “tidak biadab” merupakan kesimpulan yang jelas bahwa
manusia yang nampak itu merupakan kebalikan dari jin yang bersifat metafisik
dan identik dengan liar atau bebas.[10]
Dari pendapat di
atas dapat dikatakan bahwa dalam konsep al-ins yang berarti manusia
selalu di posisikan sebagai lawan dari kata jin yang bebas. Kata ini mengandung
makna bersifat halus dan tidak biadab. Adapun Jin adalah makhluk bukan manusia
yang hidup di alam yang tak terinderakan.
c)
Konsep
Nas (ناس)
Konsep al-Nas (ناس) pada umumnya
dihubungkan dengan fungsi manusia sebagai makhluk sosial.[11]
Tentunya sebagai makhluk sosial, manusia harus mengutamakan keharmonisan
bermasyarakat. Manusia harus hidup sosial artinya tidak boleh sendiri-sendiri
Karena manusia tidak bisa hidup sendiri.
Asal mula terjadinya manusia yang bermula dari pasangan
laki-laki dan wanita (Adam dan Hawa) kemudian berkembang menjadi masyarakat. Dengan kata lain, adanya
pengakuan terhadap spesis di dunia ini menunjukkan bahwa manusia harus hidup
bersaudara dan tidak boleh saling menjatuhkan. Secara sederhana, inilah
sebenarnya fungsi manusia dalam konsep an-Naas. Mengenai asal
kejadian keturunan umat manusia, dijelaskan dalam ayat berikut:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ﴿ النساء : ۱﴾
Artinya:
“Hai sekalian
manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang
satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu. (QS. an-Nisa’ : 1)
d)
Konsep
Unas (أناس)
Kata unas (أناس), seperti halnya kata ins terdiri dari
tiga huruf yang berarti manusia. Dari sini pula terbentuk kata anasiyyu (أناسي). Pemakaian kata ini dalam ayat-ayat
Al-Quran selalu menunjukkan kepada sejumlah manusia sehingga mengandung makna
suku atau kabilah. Kata ini ditemukan sebanyak 5 kali dalam Al-Quran yaitu QS.
Al-Baqarah : 60; QS. Al-A’raf : 82, 160; QS. Al-Isra’ 71; dan QS. An-Naml : 56.[12]
Lebih lanjut, teks ayatnya dapat diperhatikan dibawah ini:
وَإِذِ
اسْتَسْقَىٰ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ فَقُلْنَا اضْرِب بِّعَصَاكَ الْحَجَرَ فَانفَجَرَتْ مِنْهُ
اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا قَدْ
عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ كُلُوا
وَاشْرَبُوا مِن رِّزْقِ اللَّهِ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ ﴿
البقرة : ٦٠﴾
Artinya:
“Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami
berfirman: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu". Lalu memancarlah
daripadanya dua belas mata air. Sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat
minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezki (yang diberikan) Allah, dan
janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan”.(QS. al-Baqarah : 60)
e)
Konsep
Basyr (بشر)
Kata Basyr (بشر) bermakna
pokok tampaknya sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama, lahir
kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitnya
tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang yang lain.[13]
Oleh karena itu, kata basyar dalam Al-Quran secara khusus merujuk kepada tubuh
dan lahiriah manusia.
Al-Quran
menggunakan kata ini sebanyak 37, yaitu 36 kali dalam bentuk mufrad dan sekali
dalam bentuk mutsanna untuk menunjukkan manusia dari sudut lahiriahnya serta
persamaannya dengan manusia seluruhnya. Dalam pengertian ini, dapat kita
temukan dalam QS. Al-Kahfi 110:
إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ ﴿ الكهف : ۱۱٠﴾
Artinya:
Sesungguhnya aku
ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: ‘Bahwa
sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa”. (QS. al-An’am : 110)
Pada konteks lain, ayat-ayat Al-Quran yang menggunakan
kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar
melalui tahap-tahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.[14]
Hal ini ditegaskan di dalam QS. Al-Rum : 20:
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُم مِّن تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنتُم بَشَرٌ تَنتَشِرُونَ ﴿ الروم : ۲٠﴾
Artinya:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari
tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak”. (QS. ar-Ruum : 20)
Sejalan dengan keterangan
diatas, maryam mengungkapkan keherananya “bagaimana mungkin aku
memperoleh anak padahal belum pernah disentuh oleh basyar, yakni manusia
dewasa yang mampu melakukan hubungan seksual”.[15]
Keterangan ini ditegaskan dalam QS. al-Imran : 47:
قَالَتْ رَبِّ أَنَّى يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ ﴿ آل عمران : ٤٧﴾
Artinya:
“Maryam berkata: ‘Ya Tuhanku, betapa mungkin aku
mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun”.
QS. al-Imran : 47)
Disamping
itu, ditemukan pula kata basyiruhunna (بَاشِرُوهُنَّ) yang juga
berakar dari kata basyara (بشر) dengan arti
hubungan seksual. Kata ini disebutkan dua kali di dalam satu ayat, yakni QS.
al-Baqarah : 187.[16]
f)
Konsep
Bani Adam (بني
آدم) dan Zurriyat
Adam (ذرّيّة
آدم)
Adapun kata bani
adam (بني آدم) dan zurriyat Adam (ذرّيّة آدم), yang berarti
anak Adam atau keturunan Adam digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat
dari asal keturunannya. Dalam Al-Qur’an istilah bani adam disebutkan sebanyak 7
kali dalam 7 ayat.[17]
Penggunaan kedua kata ini dapat dilihat dibawah ini:
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا
وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ ﴿ الأعراف: ۳۱﴾
Artinya:
“Hai anak Adam,
pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid makan dan minumlah,
dan janganlah berlebih-lebihan . Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan”. (QS. al-Baqarah : 31)
أُولَئِكَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ
مِنْ ذُرِّيَّةِ آدَمَ وَمِمَّنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ وَمِنْ ذُرِّيَّةِ
إِبْرَاهِيمَ وَإِسْرَائِيلَ وَمِمَّنْ هَدَيْنَا وَاجْتَبَيْنَا إِذَا تُتْلَى
عَلَيْهِمْ آيَاتُ الرَّحْمَنِ خَرُّوا سُجَّدًا وَبُكِيًّا
﴿ مريم: ٥۸﴾
Artinya:
“Mereka
itu adalah orang-orang yang telah diberi ni'mat oleh Allah, yaitu para nabi
dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan
dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri
petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila
dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka
menyungkur dengan bersujud dan menangis”.(QS. al-Baqarah : 58)
Menurut
Thabathaba’i dalam Samsul Nizar (2001: 52), penggunaan kata bani Adam menunjuk
pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini setidaknya ada tiga aspek yang
dikaji, yaitu:
1)
Anjuran
untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, di antaranya adalah dengan berpakaian
guna manutup aurat,
2)
Mengingatkan
pada keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang mengajak
kepada keingkaran,
3)
Memanfaatkan
semua yang ada di alam semesta dalam
rangka ibadah dan mentauhidkan-Nya. Kesemuanya itu adalah
merupakan anjuran sekaligus peringatan Allah dalam rangka memuliakan keturunan
Adam dibanding makhluk-Nya yang lain.
Lebih lanjut, Jalaluddin mengatakan konsep Bani Adam
dalam bentuk menyeluruh adalah mengacu kepada penghormatan kepada nilai-nilai
kemanusian. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa manusia dalam konsep Bani
Adam adalah sebuah usaha pemersatu (persatuan dan kesatuan) tidak ada perbedaan
sesamanya yang juga mengacu pada nilai penghormatan menjunjung tinggi
nilai-nilai kemanusian serta mengedepankan HAM.[18]
Adapun yang membedakan hanyalah ketaqwaannya kepada Pencipta. Sebagaimana yang
diutarakan dalam QS. Al-Hujarat: 13:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ
شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ
أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ﴿ الحجرات: ۱۳﴾
Artinya:
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. al-Hujurat : 13)
C. PENCIPTAAN
MANUSIA DALAM AL-QURAN
Al-Quran telah memberikan informasi kepada kita bahwa
Allah SWT menciptakan manusia dari materi dan roh. Unsur materi dan roh pada
manusia tidak bisa dijadikan terpisah
atau berdiri sendiri satu sama lain, tetapi keduanya berpadu secara bersamaan
dalam satu kesatuan yang saling melengkapi dan harmonis. Dari perpaduan yang
saling melengkapi dan harmonis ini, terbentukah diri manusia dan kepribadiannya.
a)
Produksi dan
Reproduksi Manusia
Al-Quran menguraikan produksi dan reproduksi pada
manusia. Ketika berbicara tentang penciptaan manusia pertama, al-Quran menunjuk
kepada Sang Pencipta dengan menggunakan pengganti nama berbentuk tunggal.[19]
Hal ini seperti diungkapkan dalam beberapa ayat berikut:
إِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ ﴿ ص: ٧۱﴾
Artinya:
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: ‘Sesungguhnya
Aku akan menciptakan manusia dari tanah”.(QS. Shad : 71)
قَالَ
يَا إِبْلِيسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ
أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِينَ ﴿ ص: ٧٥﴾
Artinya:
“Allah
berfirman: “Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah
Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu
(merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?”. (QS. Shad : 75)
Adapun ayat-ayat al-Quran jika berbicara tentang reproduksi manusia secara
umum, Yang Maha pencipta ditunjuk dengan menggunakan bentuk jamak. Perhatikan
ayat berikut:
لَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ ﴿ التين: ٤﴾
Artinya:
“Sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (QS. at-Tin : 4)
Keterangan diatas menunjukkan perbedaan proses kejadian manusia secara
umum dan proses kejadian Adam a.s. Penciptaan manusia secara umum, melalui
prosses keterlibatan tuhan bersama selain-Nya, yaitu ibu dan bapak.
Keterlibatan ibu dan bapak mempunyai pengaruh menyangkut bentuk fisik dan
psikis anak, sedangkan dalam penciptaan adam tidak terdapat keterlibatan pihak
lain termasuk ibu dan bapak.[20]
Hal serupa dalam penciptaan Nabi Isa a.s yang tidak melibatkan seorang bapak.
Keterangan ini termaktub dalam ayat berikut:
إِنَّ
مَثَلَ عِيسَى عِنْدَ اللَّهِ كَمَثَلِ آدَمَ خَلَقَهُ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ
لَهُ كُنْ فَيَكُونُ ﴿ آل عمران: ٥٩﴾
Artinya:
“Sesungguhnya
misal (penciptaan) 'Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah
menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: ‘Jadilah’ (seorang
manusia), maka jadilah dia”. (QS. al-Imran : 59)
b)
Penciptaan Awal
Manusia
Secara sederhana
dapat kita sebut bahwa asal-usul manusia dari tanah. Adam diciptakan dari
tanah, sementara anak cucunya dari saripati (ekstrak) tanah yang terkandung
dalam spermatozoa dan ovum. Allah SWT
telah mengemukakan fase-fase penciptaan manusia di beberapa tempat berbeda pada
al-Quran. Disatu tempat, Allah SWT menyatakan bahwa dia menciptakan Adam dari
tanah. Pada tempat lainnya dari tanah lumpur, yaitu campuran tanah dan air. Di tempat
lain dari tanah liat yang dibentuk, yaitu tanah yang berubah karena pengaruh
cuaca. Disisi lain diungkapkan dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang
dapat dibentuk, yaitu lumpur yang kering dan bisa mengeluarkan suara berdenting
bila diketok. Kemudian pada tempat lainnya lagi, dari tanah kering seperti
tembikar, yaitu tanah yang benar-benar telah kering sebagaimana yang terjadi
ketika mengubah tanah menjadi tembikar melalui pembakaran.
Proses diatas diterjemahkan
dari beberapa term yang digunakan Al-Quran, yaitu Turab (تُرَاب), Tin (طِين), hama’in
masnun (حَمَإ مَسْنُون), dan salsal (صَلْصَال). Term-term
ini dalam bahasa arab memiliki makna berbeda sehingga dapat dikatakan bahwa
unsur-unsur tersebut mengalami suatu proses kreatif kemudian ditiupkannya
padanya roh dari ciptaan Allah sehingga menjadi bentuk yang sama sekali berbeda
dengan unsur awalnya.[21]
Keempat term yang
mengandung unsur tanah yang dsebut oleh al-Quran dapat dicermati dalam ayat-ayat
dibawah ini:[22]
Ø Term Turab (تُرَاب)
Term Turab (تُرَاب), diartikan sebagai sebagai tanah atau partikel debu
tanah. Kata ini dalam kaitannya dengan penciptaan
manusia dapat ditemukan pada QS. al-Imran : 59; QS.
al-Kahfi : 37, QS. al-Hajj : 5; QS. ar-Rum : 20; QS. Fatir : 11; QS. Gafir : 67.
Salah satu diantara ayat-ayat itu adalah sebagai berikut:
وَاللَّهُ
خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ
جَعَلَكُمْ أَزْوَاجًا وَمَا تَحْمِلُ مِنْ أُنْثَى وَلَا تَضَعُ إِلَّا
بِعِلْمِهِ وَمَا يُعَمَّرُ مِنْ مُعَمَّرٍ وَلَا يُنْقَصُ مِنْ عُمُرِهِ إِلَّا
فِي كِتَابٍ إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ ﴿ فاطر: ۱۱﴾
Artinya:
“Dan Allah
menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan
kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). Dan tidak ada seorang perempuanpun
mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. Dan
sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula
dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh Mahfuzh).
Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah”. (QS. Fatir : 11)
Ø Term Tin (طِين)
Term tin yang
diartikan sebagai tanah liat atau ekstrak tanah liat dijumpai dalam QS. al-Maidah : 110, QS. al-An’am : 2, QS. al-A’raf : 12, 17, 61,
QS. al-Mu’minun : 12, as-Sajadah : 7,
QS. Shad : 71, 76. Salah satu ayat yang jelas-jelas menyatakan penciptaan
awal manusia dari tanah liat adalah:
الَّذِي
أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الْإِنْسَانِ مِنْ طِينٍ ﴿ السجدة: ٧﴾
Artinya:
“Yang membuat
segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan
manusia dari tanah”. (QS. as-Sajadah : 7)
Ø Hama’in masnun (حَمَإ مَسْنُون)
Term hama’in masnun
dimaknai sebagai lumpur hitam yang pekat. Kata ini dijumpai dalam ayat ke-26,
28 dan 33 dari surah al-Hijr yang semuanya berhubungan dengan proses penciptaan
manusia. Proses pada tahap hama’in masnun merupakan
proses transisi
antara tin
dan salsal. Surah al-Hijr : 26 menjelaskan sebagai berikut:
وَلَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ ﴿الحجر: ۲٦﴾
Artinya:
“Dan
sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang
berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk”. (QS. al-Hijr : 26)
Ø Salsal (صَلْصَال)
Term salsal yang diartikan tembikar kering sebelum proses
pembakaran. Seperti disebutkan dalam ayat berikut:
خَلَقَ الْإِنسَانَ مِن صَلْصَالٍ كَالْفَخَّارِ ﴿الرحمن: ۱٤﴾
Artinya:
“Dia menciptakan
manusia dari tanah kering seperti tembikar”. QS. ar-Rahman : 14)
Ketika proses awal
penciptaan manusia secara fisik sampai pada tahap salsal, Allah meniukan
roh padanya sehingga terciptalah manusia secara utuh.[23]
Penjelasan ini ditegaskan di dalam surah
al-Hijr : 28-29 sebagai berikut:
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ
صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ . فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ
رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ ﴿ الحجر:
۲۸-۲٩﴾
Artinya:
“Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan
menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur
hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan
kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan) Ku, maka tunduklah
kamu kepadanya dengan bersujud”. (QS. al-Hijr : 28-29).
c)
Penciptaan
Keturunan Adam
Setelah proses
penciptaan manusia pertama yang unik, lahirlah anak cucu yang berkembang biak
dari generasi ke generasi. Surah an-Nisa’ ayat 1 menjelaskan tentang ini:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً
وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ﴿ النساء : ۱﴾
Artinya:
“Hai sekalian
manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang
satu, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan daripada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah
kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama
lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu. (QS. an-Nisa’ : 1)
Manusia keturunan
adam (bani/zurriyat adam) beregenerasi dengan pola pertemuan antara sel
laki-laki dan sel perempuan. Setelah pertemuan ini terjadilah pembuahan yang
kemudia berproses menjadi janin. Pertumbuhan dan perkembangannya diterangkan
dengan sangat jelas di dalam al-Quran. Terdapat beberapa ayat yang menjelaskan
hal ini, dua diantaranya sangat terperinci. Masing-masing surah al-Mu’minun ayat 12 sampai
ayat 14 dan surah al-Hajj ayat 5. Berikut uraian surah
al-Mu’minun ayat 12-14:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِنْ طِينٍ ﴿١٢﴾
ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ ﴿١۳﴾ ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ
عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا
فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آخَرَ فَتَبَارَكَ
اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ ﴿١٤﴾
Artinya:
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air
mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian
air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami
jadikan segumpal daging, dan segumpal
daging itu Kami
jadikan tulang belulang, lalu tulang
belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang
(berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik”. (QS.
al-Mu’minun : 12-14)
Secara
komprehensif, Umar Shihab memaparkan bahwa proses penciptaan manusia terbagi ke
dalam beberapa fase kehidupan sebagai berikut.[24]
1)
Fase
awal kehidupan manusia berupa tanah. Manusia berasal dari tanah disebabkan oleh
dua hal yaitu manusia adalah keturunan Nabi Adam a.s. yang diciptakan dari
tanah dan sperma atau ovum yang menjadi cikal bakal manusia bersumber dari
saripati makanan yang berasal dari tanah,
2)
Saripati
makanan yang berasal dari tanah tersebut menjadi sperma atau ovum, yang disebut
oleh Al-Qur’an dengan istilah nutfah,
3)
Kemudian
sperma dan ovum tersebut menyatu dan menetap di rahim sehingga berubah menjadi
embrio (‘alaqah),
4)
Proses
selanjutnya, embrio tersebut berubah menjadi segumpal daging (mudghah),
5)
Proses
ini merupakan kelanjutan dari mudghah. Dalam hal ini, bentuk embrio sudah
mengeras dan menguat sampai berubah menjadi tulang belulang (‘idzaam),
6)
Proses
penciptaan manusia selanjutnya adalah menjadi daging (lahmah),
7)
Proses
peniupan ruh. Pada fase ini, embrio sudah berubah menjadi bayi dan mulai
bergerak, dan
8)
Setelah
sempurna kejadiannya, akhirnya lahirlah bayi tersebut ke atas dunia.
D.
POTENSI MANUSIA DAN PERGULATAN PSIKOLOGIS
Al-Quran banyak
menyinggung mengenai sifat-sifat dan potensi manusia. Dalam hal ini, ditemukan
sekian ayat yang memuji dan memuliakan manusia. Seperti pernyataan tentang
terciptanya manusia dalam bentuk dan keadaan yang sebaik-baiknya (QS. at-Tin :
5), penegasan tentang dimuliaknnya makhluk ini dibandingkan
dengan kebanyakan makhluk-makhluk Allah yang lain
(QS. al-Isra’ : 70). [25]
Kedua ayat ini dapat diperhatikan dibawah ini:
لَقَدْ
خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ ﴿ التين: ٤﴾
Artinya:
“Sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya”. (QS. at-Tin : 4)
وَلَقَدْ
كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ
مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا ﴿ الإسراء: ٧٠﴾
Artinya:
“Dan sesungguhnya
telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di
lautan, Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan”.
(QS. al-Isra’ : 70)
Namun
pada sisi lain, manusia sering pula mendapat celaan Tuhan karena ia amat aniaya
dan mengingkari nikmat (QS. Ibrahim : 34), sangat banyak membantah (QS.
al-Kahfi : 54), dan bersifat keluh kesah lagi kikir (QS. al-Ma’arij : 19) serta
masih banyak lagi lainnya. Beberapa ayat yang disebutkan diatas, redaksinya
dapat dilihat dibawah ini:
وَآتَاكُمْ
مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ ﴿ إبراهيم: ۳٤﴾
Artinya:
“Dan Dia telah
memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya.
Dan jika kamu menghitung ni'mat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.
Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (ni'mat Allah)”.
(QS. Ibrahim : 34)
وَلَقَدْ
صَرَّفْنَا فِي هَذَا الْقُرْآنِ لِلنَّاسِ مِنْ كُلِّ مَثَلٍ وَكَانَ الْإِنْسَانُ
أَكْثَرَ شَيْءٍ جَدَلًا ﴿ الكهف: ٥٤﴾
Artinya:
“Dan sesungguhnya
Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia dalam Al Qur'an ini bermacam-macam
perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah”. (QS. al-Kahfi : 54)
Menurut
Quraish Shihab, ini bukan berarti bahwa ayat-ayat al-Quran saling bertentangan
satu dengan lainnya. Akan tetapi, ayat tersebut menunjukkan beberapa kelemahan
manusia yang harus dihindarinya. Disamping itu, menunjukkan bahwa makhluk ini
mempunyai potensi untuk menempati tempat tertinggi sehingga ia terpuji atau
berada ditempat yang rendah sehingga ia tercela.[26]
Sesungguhnya
dalam kepribadian manusia terkandung sifat-sifat hewan yang tampak dari
kebutuhan-kebutuhan fisik yang mesti dipenuhi demi menjaga diri dan
kelangsungan hidup. Selain itu, dalam kepribadian manusia juga terkandung
sifat-sifat malaikat yang tergambar dari kerinduan spritualnya untuk mengenal,
beriman, beribadah dan bertasbih kepada Allah SWT.[27]
Al-Quran menunjukkan aspek pergulatan psikologis tentang aspek materi dan
rohani pada beberapa tempat. Misalnya, ketika Qarun menemui kaummnya dengan
mengenakan perhiasaannya. Ini menjadikan sebagian orang berangan-angan memiliki kekayaan seperti
Qarun. Akan tetapi, sebagian lainnya menolak dengan alasan bahwa yang ada pada
Allah SWT itu lebih baik dan lebih langgeng.
Pergulatan
antara aspek materi
dan rohani pada manusia diisyartkan pula oleh
al-Quran saat menggambarkan beberapa
kaum muslimin yang bubar disekeliling nabi SAW ketika mendengar berita tibanya
para kafilah yang penuh dengan barang-barang ke Madinah.
وَإِذَا رَأَوْا تِجَارَةً أَوْ لَهْوًا انْفَضُّوا إِلَيْهَا
وَتَرَكُوكَ قَائِمًا قُلْ مَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ مِنَ اللَّهْوِ وَمِنَ
التِّجَارَةِ وَاللَّهُ خَيْرُ الرَّازِقِينَ ﴿
الجمعة: ۱۱﴾
Artinya:
“Dan apabila
mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya
dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhutbah). Katakanlah: "Apa
yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan",
dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezki”. (QS. al-Jumu’ah : 11)
Jadi, dalam sifat
penciptaan manusia terdapat kesiapan untuk melakukan kebaikan atau keburukan. Kesiapan untuk memperturutkan
hawa nafsu, tenggelam dalam kesenagan
duniawi atau semacamnya. Selain itu, terdapat juga kesiapan untuk menaiki ufuk kemulian dan ketakwaan, meraih ketenangan,
memperoleh manisnya iman dan sebagainya.
Pembawaan manusia yang mengandung pergulatan antara kebaikan dan keburukan atau
keutamaan dan kehinaan adalah sangat alamiah. Ujian sesungguhnya bagi manusia
dalam kehidupannya ialah apa yang akan dituju oleh kemauannya dan apa yang akan
ditimbulkan oleh pilihannya.
Wallahu A’lam bi as-Shawab !!!
DAFTAR
PUSTAKA
Hanafi
, Muchlis., (ed.). Spiritualitas dan Akhlak “Tafsir Tematik Al-Quran”, Jakarta : Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Quran, 2010
Jalaluddin. Teologi Pendidikan,
Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2003
Najati,
Muhammad Utsman. Psikologi dalam Al-Quran : Terapi Qur’ani dalam pemyembuhan
Gangguan Kejiwaan, Bandung
: CV Pustaka Setia, 2005
Rahardjo,
M. Dawam., (ed.). Insan Kamil : Konsepsi Manusia Menurut Islam, Jakarta : Pustaka
Grafitipers, 1987
Ro’uf, Abdul Mukti. Manusia Super, Pontianak:
STAIN Pontianak Press, 2008
Sahabuddin.,
(ed.). Ensiklopedi Al-Quran : Kajian Kosakata, Jakarta : Lentera Hati, 2007
Shihab,
Muhammad Quraish. Wawasan Al-Quran : Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan
Umat, Bandung
: PT Mizan Pustaka, 2007
Syati, Aisyah Bintu. Manusia Dalam Perspektif
AL-Qur’an, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1955
[1] M. Dawam Rahardjo, “Bumi,
Manusia dalam Al-Quran” dalam Insan Kamil : Konsepsi Manusia Menurut Islam,
(Jakarta : Pustaka Grafitipers, 1987), Cet. II, Hal 211
[2] Muhammad Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran : Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2007), Cet. I,
Hal. 365-366
[3] Jalaluddin. Teologi
Pendidikan, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2003), Hal. 11
[4] Muhammad Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran : Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2007), Cet. I,
Hal. 367
[5] Sahabuddin., (ed.). Ensiklopedi
Al-Quran : Kajian Kosakata, (Jakarta : Lentera Hati, 2007),
Cet. I, Hal. 1040
[7] Aisyah Bintusy Syati, Manusia Dalam Perspektif AL-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1955), Hal. 14
[9] Sahabuddin., (ed.). Ensiklopedi
Al-Quran : Kajian Kosakata, (Jakarta : Lentera Hati, 2007),
Cet. I, Hal. 1040
[10] Aisyah Bintusy Syati, Manusia Dalam Perspektif AL-Qur’an, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
1955), Hal. 5
[12] Sahabuddin., (ed.). Ensiklopedi
Al-Quran : Kajian Kosakata, (Jakarta : Lentera Hati, 2007),
Cet. I, Hal. 1040-1041
[13] Muhammad Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran : Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2007), Cet. I,
Hal. 367
[15] Sahabuddin., (ed.). Ensiklopedi
Al-Quran : Kajian Kosakata, (Jakarta : Lentera Hati, 2007),
Cet. I, Hal. 1040-1041
[16] Sahabuddin., (ed.). Ensiklopedi
Al-Quran : Kajian Kosakata, (Jakarta : Lentera Hati, 2007),
Cet. I, Hal. 1040-1041
[19] Muhammad Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran : Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2007), Cet. I,
Hal. 369
[20] Muhammad Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran : Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2007), Cet. I,
Hal. 370
[21] Hanafi , Muchlis., (ed.), Spiritualitas dan Akhlak “Tafsir
Tematik Al-Quran”,
(Jakarta : Lajnah Pentashihan Mushaf
Al-Quran, 2010), Cet. I, Hal. 39
[22] Hanafi , Muchlis., (ed.), Spiritualitas
dan Akhlak “Tafsir Tematik Al-Quran”, (Jakarta : Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran,
2010), Cet. I, Hal. 39-40
[23] Hanafi , Muchlis., (ed.), Spiritualitas
dan Akhlak “Tafsir Tematik Al-Quran”, (Jakarta : Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran,
2010), Cet. I, Hal. 40
[24] Umar Shihab, Kontekstualitas
Al-Qur’an: Kajian Tematik atas Ayat-ayat Hukum dalam Al-Qur’an (Jakarta: Penamadani,
2005), hlm. 105-106.
[25] Muhammad Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran : Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2007), Cet. I,
Hal. 372
[26] Muhammad Quraish Shihab, Wawasan
Al-Quran : Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : PT Mizan Pustaka, 2007), Cet. I,
Hal. 372
[27] Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Quran : Terapi
Qur’ani dalam pemyembuhan Gangguan Kejiwaan, (Bandung : CV Pustaka Setia, 2005),
Cet. I, Hal364