BAB I
PENDAHULUAN
Bahwa permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupan sehari-hari
beragam macamnya. Tentunya ini mengharuskan agar didapati jalan keluar untuk
penyelesaiannya. Maka disusunlah suatu kaidah secara umum yang diikuti
cabang-cabang secara lebih mendetail terkait permasalahan yang sesuai dengan
kaidah tersebut. Adanya kaidah ini tentunya sangat membantu dan memudahkan
terhadap pemecahan permasahalan yang muncul ditengah-tengah kehidupan di zaman
modern ini.
Maka,
hendaklah mahasiswa memahami secara baik tentang konsep disiplin ilmu ini
karenanya merupakan asas dalam pembentukan hukum Islam. Masih jarang diantara
kaum muslim yang memahami secara baik tentang pedoman penyelesaian hukum Islam.
Menjadi kewajiban sebagai seorang muslim untuk lebih memahami dan meyikapi
persoalan hukum dalam Islam karena proses kehidupan tidak terlepas dari kegiatan
hukum.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Qawaid Fiqhiyah
Dalam pengertian ini ada dua terminologi yang
perlu kami jelaskan terlebih dahulu, yaitu qawaid dan fiqhiyah. Kata qawaid
merupakan bentuk jama' dari kata qaidah, dalam istilah bahasa Indonesia dikenal
dengan kata 'kaidah' yang berarti aturan atau patokan, dalam tinjauan
terminologi kaidah mempuyai beberapa arti. Dr. Ahmad asy-Syafi'I menyatakan
bahwa kaidah adalah:
القضايا الكلية التى يندرج تحت كل واحدة منها حكم
جزئيات كثيرة
Sedangkan
secara terminologi fiqh berarti, menurut al-Jurjani al-Hanafi:
العلم بالاحكام الشريعة العملية من ادلتها
التفصلية وهو علم مستنبط بالرأي والاجتهاد ويحتاج فيه الى النظر والتأمل
”ilmu yang menerangkan hukum hukum syara yang
amaliyah ang diambil dari dalil-dalilnya yang tafsily dan diistinbatkan melalui
ijtihad yang memerlukan analisa dan perenungan".[2]
Dari uraian pengertian diatas baik mengenai qawaid maupun fiqhiyah maka yang dimaksud dengan qawaid fiqhiyah adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Tajjudin as-Subki:
الامر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم
احكامها منها
"Suatu perkara kulli yang bersesuaian dengan
juziyah yang yang banyak yang dari padanya diketahui hukum-hukum juziyat itu". [3]
Menurut Musthafa az-Zarqa, Qowaidul Fiqhyah ialah : dasar-dasar
fiqih yang bersifat umum dan bersifat ringkas berbentuk undang-undang yang
berisi hukum-hukum syara’ yang umum terhadap berbagai peristiwa hukum yang
termasuk dalam ruang lingkup kaidah tersebut.[4]
B.
Ruang lingkup qawaid fiqhiyah
Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya
al-Qawa’id al-fiqhiyyah berdasarkan cakupannya yg luas terhadap cabang dan
permasalahan fiqh, serta berdasarkan disepakati atau diperselisihkannya qawa’id
fiqhiyyah tersebut oleh madzhab-madzhab atau satu madzhab tertentu, terbagi
pada 4 bagian, yaitu :
a.
Al-Qawa’id
al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra, yaitu qaidah-qaidah fiqh yangg bersifat
dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh. Qaidah-qaidah ini
disepakati oleh seluruh madzhab. Yang termasuk kategori ini adalah :
1.
Al-Umuru
bi maqashidiha.
2.
Al-Yaqinu
la Yuzalu bi asy-Syakk.
3.
Al-Masyaqqatu
Tajlib at- Taysir.
4.
Adh-Dhararu
Yuzal,
5.
Al-
’Adatu Muhakkamah.
b.
Al-Qawa’id
al-Kulliyyah : yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima oleh
madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit dari pada
qawa’id yang lalu. Seperti kaidah : al-Kharaju bi adh-dhaman/Hak
mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian, dan kaidah : adh-Dharar
al- Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar al-Akhaf Bahaya yang lebih besar dihadapi
dengan bahaya yang lebih ringan. Banyak kaidah- kaidah ini masuk pada kaidah
yang 5, atau masuk di bawah kaidah yg lebih umum.
c.
Al-Qawa’id
al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-kaidah yang menyeluruh pada
sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang lain. Kaidah ini terbagi pada 2
bagian :
1.
Kaidah
yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.
2.
Kaidah
yang diperselisihkan pada satu madzhab.
Contoh, kaidah : ar-Rukhash la Tunathu bi
al- Ma’ashiy Dispensasi tidak didapatkan karena maksiat. Kaidah ini masyhur
di kalangan madzhab Syafi’i dan Hanbali, tidak di kalangan mazhab Hanafi, dan
dirinci di kalangan madzhab Maliki.
d.
Al-Qawa’id
al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah yang diperselisihkan
dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu diaplikasikan dalam satu furu’ (cabang)
fiqh tidak pada furu’ yg lain, dan diperselisihkan dalam furu’ satu madzhab.
Contoh, kaidah : Hal al-’Ibroh bi al-Hal aw bi al-Maal?/Apakah
hukum yang dianggap itu pada waktu sekarang atau waktu nanti? Kaidah ini
diperselisihkan pada madzhab Syafi’i. oleh karena itu pada umumnya diawali
dengan kata :hal/ /apakah.[5]
C.
Perbedaan Qawaid
Fiqhiyah dengan Ushul Fiqih
Menurut
Ali Ahmad al-Nadawi, perbedaan antara qawaid fiqhiyyah dengan qawaid ushuliyyah
adalah sebagai berikut:[6]
a.
ilmu ushul fiqih merupakan
parameter (tolak ukur) cara berinstinbat fikih yang benar. Kedudukan ilmu ushul
fiqih (dalam fiqih) ibarat kedudukan ilmu nahwu dal hal pembicaraan dan
penilisan, qawaid fiqhiyyah merupakan wasilah, jembatan penghubung, antara
dalil dan hukum. Tugas qawaid fiqhiyyah adalah mengeluarkan hukum dari
fdalil-dalil yang tafshili (terperinci). Ruang lingkup qawaid ushuliyyah adalah
dalil dan hukum seperti amr itu menunjukan wajib, nahyi menunjukan haram, dan
wajib mukhayar bila telah dikjerjakan sebagaian orang, maka yang lainya bebas
dari tanggung jawab. Qawaid fiqhiyyah adalah qaidah kulliyah atau aktsariyah
(mayoritas) yang juz’i-juz’inya (farsial-farsialnya) beberapa masalah fiqih dan
ruang lingkupnya selslu perbuatan orang mukalaf
b.
qawaid ushuliyyah merupakan
qawaid kulliyah yang dapat diaplikasikan pada seluruh jux’i dan
ruanglingkupnya. Ini berbeda dengan qawaid fiqhiyyah yang merupakan kaidah
berbeda dengan qawaid fiqhiyyah yang merupakan kaidah aghlabiyah (mayoritas0
yang dapat diaplikasikan pada sebagaian jux’i-nya, karena ada pengecualiannya.
c.
Qawaid ushuliyyah merupakan
dzari’ah (jalan) untuk mengeluarkan hukum syara’ amali. Qawaid fiqhiyyah
merupakan kumpulan dari hukum-hukum serupa yang mempunyai ‘illat yang sama,
dimana tujuannya untuk menekatkan berbagai persoalan dan mempermudah
mengetahuinya.
d.
Eksistensi qawaid fiqhiyyah
baik dalam teori maupun realitas lahir setelah furu’, karena berfungsi
menghimpun furu’ yang berserakan dan mengalokasikan makna-maknanya. Adapun
ushul fiqih dalam teori ditunut eksistensinya sebelum eksistensinya furu’,
karena akan menjadi dasar seorang fakih dalam menetapkan hukum. Posisinya
seperti al-Qur’an terhadap sunah dan nash al-Qur’an lebih kuat dari zahirnya.
Ushul sebagai pembuka furu’. Posisinyaseperti anak terhadap ayah, buah terhadap
pohon, dan tanaman terhadap benih.
e.
Qawaid fiqhiyyah sama dengan
ushul fiqih dari satu sisi dan berbeda dari sisi yang lain. Adapun persamaannya
yaitu keduannya sama-sama mempunyai kaidah yang mencakuip berbagai juz’i,
sedangkan perbedaannya yaitu kaidah ushul adalah masalah-masalah yang dicakup
oleh bermacam-macam dalil tafshily yang dapat mengeluarkan hukum syara’. Kalau
kaidah fiqih adalah masalah-masalah yang mengandung hukumhukum fiqih saja.
Mujtahid dapat sampai kepadanya dengan berpegang kepada masalah-masalah yang
dijelaskan ushul fiqih. Kemudidan bila seorang fakih mengapllikasikan
hukum-hukum tersebut terhadap hukum-hukum farsial, maka itu bukanlah kaidah,
namun, bila ia menyebutkan hukum-hukum tersebut dengan qaidah-qaidah kuliyyah
(peristiwa-peristiwa universal)yang dibawahanya terdapat berbagai hukum juz’i
maka itu disebut kaidah. Qawaid kuliyyah dan hukum-hukum juz’i benar-benar
masuk dalam madlul (kajian) fikih, keduanya menunggu kajian mujtahid terhadap
ushul fiqih yang membangunnya.[7]
D. Hubungan qawaid fiqhiyah dengan fiqih,
ushul fiqih dan qawaid ushuliyyah
Qawaid Fiqhiyah, fiqh, ushul fiqh dan qawaid
fiqhiyah tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Keempat ilmu
tersebut saling terkait dengan perkembangan fiqih, karena pada dasarnya yang
menjadi pokok pembicaraan adalah fiqih.
Qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid
ushuliyah adalah ilmu-ilmu yang berbicara tentang fiqih. Dengan demikian kajian
qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid usuliyah tersebut adalah fiqih.
Menurut al-Baidhawy (w.685) dari kalangan ulama
syafiiyyah, ushul fiqih adalah :
معرفة دلا
ئل الفقه اجمالا وكيفية الستفادة منها وحال المستفيد
“pengetahuan
secara global tentang dalil-dalil fiqih, metode penggunaannya, dan keadaan
(syarat-syarat) orang yang menggunakannya.”
Definisi ini menekankan tiga objek kajian ushul
fiqih, yaitu :
- Dalil (sumلاer hukum)
- Metode penggunaan dalil, sumber
hukum, atau metode penggalian hukum dari sumbernya.
- Syarat-syarat orang yang
berkompeten dalam menggali (mengistinbath) hukum dan sumbernya.
Dengan
demikian, ushul fiqih adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum
dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya. Metode
penggalian hukum dari sumbernya tersebut harus ditempuh oleh orang yang
berkompeten. Hukum yang digali dari dalil/sumber hukum itulah yang kemudian
dikenal dengan nama fiqih. Jadi fiqih adalah produk operasional ushul fiqih.
Sebuah hukum fiqih tidak dapat dikeluarkan dari dalil/sumbernya (nash al-Qur’an
dab sunah) tanpa melalui ushul fiqih. Ini sejalan dengan pengertian harfiah
ushul fiqih, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqih.
Misalnya
hukum wajib sholat dan zakat yang digali (istyinbath) dari ayat Al-Qur’an surat
al-Baqarah (2) ayat 43 yang berbunyi
واقيموا الصلاة وءاتواالزكوة .......
“dan
dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat ...”
Firman
Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ilmu ushul fiqih, perintah pada
asalnya menunjukan wajib selama tidak ada dalil yang merubah ketentuan tersebut
( الاصل فى
الامر للوجوب).
Disamping
itu qawaid fiqhiyah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam mengetahui hukum
perbuatan seorang mukalaf. Ini karena dalam menjalanklan hukum fiqih
kadang-kadang mengalami kendala-kendala. Misalnya kewajiban shalat lima waktu
yang harus dikerjakan tepat pada waktunya. Kemudian seorang mukalaf dalam
menjalankan kewajibannya mendapat halangan, misalnya ia diancam bunuh jika
mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Dalam kasusu seperti ini, mualaf
tersebut boleh menunda sholat dari waktunya karena jiwanya terancam. Hukum boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan
qawaid fiqhiyah, yaitu dengan menggunakan qaidah :”الضرار يزال“ bahaya wajid
dihilangkan. Ini adalah salah satu perbedaan antara qawaid ushuliyah dengan
qawaid fiqhiyah. Qawaid ushuliyah menkaji dalil hukum (nash al-Qur’an dan
sunah) dan hukum syarak, sedangkan qawaid fiqhiyah mengkaji perbuatan mukalaf
dan hukum syarak.
Demikianlah
hubungan antara fiqih, qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid ushuliyah. Hukum
syarak (fiqih) adalah hukum yang diistinbath dari nash al-Qur’an dan sunnah
melalui pendekatan ushul fiqih yang diantaranya menggunakan qawaid ushuliyah.
Hukum syarak (fiqih) yang telah diistinbath tersebut diikat oleh qawaid
fiqhiyah, dengan maksud supaya lebih mudah difahami dan identfikasi.[8]
E.
Tujuan
mempelajari qawaid fiqhiyah
Tujuan
mempelajari qawaid fiqhiyah itu adalah untuk mendapatkan manfaat dari ilmu
qawaid fiqhiyah itu sendiri, manfaat qawaid fiqhiyah ialah:
1.
Dengan
mempelajari kaidah-kidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh
dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik
temu dari masalah-masalah fiqh.
2.
Dengan
memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan hukum bagi
masalah-masalah yang dihadapi.
3.
Dengan
mempelajari kaidah fiqh akan lebih arif dalam menerapkan materi-materi dalam
waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan adat yang berbeda.
4.
Meskipun
kaidah-kaidah fiqh merupakan teori-teori fiqh yang diciptakan oleh Ulama, pada
dasarnya kaidah fiqh yang sudah mapan sebenarnya mengikuti al-Qur’an dan
al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak langsung.
5.
Mempermudah
dalam menguasai materi hukum.
6.
Kaidah
membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan.
7.
Mendidik
orang yang berbakat fiqh dalam melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij untuk
memahami permasalahan-permasalahan baru.
8.
Mempermudah
orang yang berbakat fiqh dalam mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan
mengeluarkannya dari tempatnya.[9]
BAB III
PENUTUP
Dengan terciptanya makalah ini semoga kita bisa lebih memahami tentang
Qawaid Fiqhiyah sehingga kita sebagai mahasiswa dapat menggali hukum dengan
cara dan metode yang dilakukan olah para ulama salafus shalih, karena jaman
sekarang permasalahan-permasalahan agama khususnya yang berhubungan dengan
fiqih begitu moderen sehingga kita sebagai mahasiswa ditunut untuk lebih
memahami tang fiqih khususnya pada makalh ini yaitu tentang qawaid fiqhiyah
yang dengannya semoga kita semua dapat melaksanakannya
Akhirnya tiada gading yang tak retak, kami pemakalah menyadari betul
dengan makalh ini masih banyak kekurangan dan kesalah untuk itu saran dan
kritik dari teman-teman sekalian akan membantu kami dalam penysusnan makalah
kedepannya, dan semoga makalh ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.
Referensi
Ahmad
Muhammad Asy-Syafii, ushul fiqh al-Islami, iskandariyah muassasah
tsaqofah al- Jamiiyah .1983.
Hasbi
as-siddiqy, Pengantar Hukum Islam, Jakarta bulan bintang
1975.
Asjmuni
A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, Jakarta. Bulan bintang. 1976.
Abd. Rahman
Dahlan, Ushul Fiqih. Amzah : Jakarta.
Ali Ahmad al Nadawy, al Qawi’id al Fiqhiyyah,
(Dmasascus; Dar al Qalam, 1994)
Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta:
GayaMedia Pratama, 2008)
Syarif Hidayatullah, Qawa’id
Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syari’ah Kontemporer
(Mu’amalat, Maliyyah islamiyyah, mu’ashirah), (Depok, Gramata Publishing)
http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02-pendahuluan oleh H. Asnin Syafiuddin, Lc. MA diposting
pada tanggal 10 september 2012.
Jamiiyah .1983. hal.4.
[5]. H. Asnin Syafiuddin,
Lc. MA http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02-pendahuluan diposting pada tanggal 10 september 2012.
[8] . Syarif Hidayatullah, Qawa’id
Fiqhiyyah dan Penerapannya dalam Transaksi Keuangan Syari’ah Kontemporer
(Mu’amalat, Maliyyah islamiyyah, mu’ashirah), h. 32-35.
[9] . H.
Asnin Syafiuddin, Lc. MA http://www.slideshare.net/asnin_syafiuddin/01-02-pendahuluan
diposting pada tanggal 10 september 2012.
No comments:
Post a Comment